Baby's Breath Chapter 10


Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Chanyeol telah sembuh sepenuhnya, meskipun suhu badannya masih sering naik dan turun. Dokter “Suho”, sebagaimana Baekhyun memanggilnya (singkatan dari malaikat penjaga; sentimentil, tapi cocok, kan), menyarankan banyak istirahat, makan teratur, dan kasih sayang, kemudian memulangkan Chanyeol.
Usai tadi malam, setelah Baekhyun terpaksa keluar dari ruangan ketika Chanyeol menangis, keduanya tidak mampu bercakap seperti biasa karena semuanya terasa canggung. Meskipun Chanyeol telah kembali menjadi happy virus yang bersemangat saat pulang ke rumah, Baekhyun masih belum sepenuhnya lepas dari trauma. Entah mengapa, melihat Chanyeol menitikkan air mata memengaruhi dirinya dalam berbagai cara. Itu membuat hatinya ngilu untuk beberapa alasan, dan perasaan ganjil itu tidak kunjung hilang bahkan setelah tidur.



“Bu, Chanyeol bilang ia tidak akan pergi sekolah,” kata Baekhyun sembari mengancingkan seragamnya. Tidak seperti hari-hari lainnya, Chanyeol tidak meniru setiap gerakannya atau salah memasukkan kancing sehingga Baekhyun harus mengancingkannya lagi.
Sang ibu berhenti memasukkan berkas-berkas dan kertas kerja ke dalam tas kecilnya dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Mengapa tidak? Chanyeol senang bersekolah.” Ia berkata seolah Baekhyun tak tahu apa-apa. “Kau tidak bertengkar dengannya lagi, kan, Baekhyun? Aku bersumpah, aku sudah menyuruhmu bersikap baik padanya, ia tidak punya banyak waktu lagi sebelum—“
“Dikeluarkan?” Baekhyun menyelesaikan kalimat wanita itu dengan tatapan biasa, “Aku tahu.”
Ia sudah mencuri dengar para orang dewasa itu mendiskusikan rencana  sekolah Chanyeol, kalau ia memang punya. Kalaupun tidak, ia tidak mengerti mengapa para dewan sekolah menolak mengizinkan Chanyeol melanjutkan pendidikannya di program kelas khusus mereka. Baekhyun membungkuk untuk mengikat tali sepatunya, namun terhenti di ambang pintu saat ia mendengar bunyi keras. Tidak butuh waktu lama bagi Chanyeol untuk menerobos keluar kamarnya dengan rambut berantakan, seragam kusut, dan seringai jahil di wajahnya.
“Oh, bagus, Sayang, semoga harimu menyenangkan di sekolah, oke? Tetaplah bersama Baekhyun saat latihan sepak bola!” celoteh ibu Baekhyun sembari membersihkan kotoran di sudut mata Chanyeol.
Baekhyun sudah di luar saat ibunya mengantar Chanyeol ke luar seolah ini hari pertamanya ke sekolah. Memuakkan bagaimana ibunya memanjakannya seperti bayi daripada seorang pria dewasa. Memang, kondisi mental Chanyeol sama seperti anak tujuh tahun, namun Baekhyun heran bagaimana caranya ia bisa belajar dan memperbaiki diri bila seseorang berhenti di levelnya. Itu, dan Baekhyun merasa iri. Chanyeol tidak mungkin berbuat kesalahan dan semua orang yang kurang sensitif akan memanja dan memujanya seolah ia bintang besar YouTube yang selanjutnya.
Baekhyun bahkan tidak sadar Chanyeol telah mensejajari langkahnya (karena kaki Chanyeol lebih panjang daripada miliknya, masuk akal ia bisa menyusul dengan cepat), namun tidak satu pun dari mereka mengatakan sesuatu hingga mereka tiba di sekolah.


Selama jam istirahat, seluruh murid tidak diizinkan berada di kelas karena beberapa siswa yang tengah melakukan ulangan remidi, jadi beberapa rekan setim Baekhyun berkumpul di ujung koridor tempat mereka saling berbagi Chocopies dan membandingkan jawaban dari ulangan barusan. Baekhyun, tentu saja, tengah berkhayal, lebih memperhatikan sekelilingnya dari pada obrolan mereka.
“Hei, baby Baek ribs, apa jawabanmu di nomor empat belas? Tentang genta kemerdekaan?” tanya Jongin.
“Hah?” ia tergagap kembali pada kenyataan. “Oh. Kurasa aku menjawab ‘tiga’ untuk yang satu itu.”
Sehun meraung. “Kau serius? Aku merubah jawabannya tepat setelah aku menulis jawaban itu!”
Teman-temannya mendengus.
Baekhyun mengunyah lapisan marshmallow Chocopies miliknya dan menatap ke bawah, ke sisi kirinya tempat banyak hal terjadi. Ia membatin mungkin akan menarik bila seseorang mengabadikan momen para siswa di habitat alaminya dan melihat kemiripannya dengan binatang dalam berkumpul dan berbagi antar sesama. Ada Yixing, murid pindahan dari Cina yang fasih berbahasa Korea (ia pindah saat kelas satu), yang tengah larut dalam headphone-nya. Ia tidak mendengar banyak tentang anak itu sebelumnya, selain fakta bahwa ia memenangkan tempat kedua lomba menulis di semester kemarin. Baekhyun menang di tempat ketiga.
Lalu, ada beberapa gadis yang tengah membicarakan selebriti terpanas, membanding-bandingkan siapa lebih tampan dari siapa, sembari menebalkan lapisan make-up mereka terus menerus. Bahkan tanpa disadari, gadis-gadis selalu mengkhawatirkan tentang penampilan mereka, namun masih saja berani mengkritik orang lain. Bila para gadis remaja diibaratkan hewan, Baekhyun pikir mereka adalah hiena. Sendiri tak berbahaya, bergerombol menakutkan.
Kris bicara dengan Luhan tuh,” cibir Minseok.
Luhan? Luhan dari kelas 3-3? Luhan yang membuat para murid lelaki mau mengambil risiko detensi, hanya untuk mengintip dari celah jendela kelas? Luhan yang dikabarkan sebagai pangeran yang lama hilang dari kerajaan dinasti kuno? Luhan yang telah menolak semua pernyataan cinta yang selalu ia terima dan membuat para lelaki dan gadis nan arogan malu karenanya?
Ini akan sangat menarik.
Baekhyun menyilangkan tangan setelah selesai membersihkan remah-remah dari wajahnya, memperhatikan Kris bicara pada Luhan seolah itu bukan apa-apa. Dapat ditebak. Kris tidak tahu apa-apa tentang reputasi Luhan. Bahkan Baekhyun dapat melihat dari ujung koridor bahwa Luhan sama sekali tidak terpengaruh dengan pembicaraan Kris. Setelah beberapa candaan terlontar dari Kris, hanya yang berbicaralah yang tertawa sementara Luhan tidak berekspresi seolah-oleh Kris baru saja menghina ibunya.
“Dia pikir dia siapa?” Jongin tergelak, memukul pelan perut Jong Dae, “Nyeh, nyeh, aku dari Bankooba.”
Baekhyun terkekeh.
Selagi  teman-temannya sudah bertaruh bahwa usaha Kris untuk membuat Luhan terpesona akan berakhir gagal sama seperti yang lainnya, Baekhyun menemukan Chanyeol yang baru datang..
dan Luhan melambai padanya dengan senyum manis.
“Hei, Chanyeol,” sapa Luhan.
“Hai, Luhan!” Chanyeol menjawab dengan—terlalu—wajar dan ceria (yang mana sama sekali tidak cocok dengan suara bariton-nya), tidak mengindahkan semua orang yang mulai bergosip ria bahwa demi Tuhan, Luhan bicara padanya pertama kali! Ia tersenyum malu dan menyorongkan sebuah buku kecil pada Luhan, membungkuk sebagai tanda terimakasih-nya. “T-terimakasih sudah meminjamkan aku bukumu. Aku sangat menyukainya..”
“Sama-sama,” Luhan tersenyum hangat, “kau boleh meminjamnya kapan saja, oke?”
Chanyeol mengangguk, tersenyum pada Kris yang tercengang, lalu melangkah menuju kelas khusus tidak jauh dari kelas normalnya.
“Apa itu Park Chanyeol?”


“Apa yang terjadi padamu, Byun Baekhyun? Pertandingan paling penting musim ini sudah di depan mata dan kau tidak bisa menerima operan?”
Baekhyun menundukkan menghadap lantai saat pelatih membentaknya, yang lain sudah lelah dan kesal karena mereka telah berlatih berjam-jam tanpa mendapat hasil yang memuaskan. Salah satu penyerang mereka mendadak terkilir,  sehingga mereka mesti menyusun kembali formasi dan strategi dari nol. Ini berarti waktu latihan jadi tiga kali lipat. Tiga kali lipat stres. Tiga kali lipat harapan.
“Jongin, kau seharusnya mengambil sisi kanan Baekhyun, jangan lupakan strateginya!” teriak pelatih. “Bila kalian tidak melakukannya dengan benar kali ini, lari keliling lapangan sepuluh kali!”


“Pelatih Jung hanya tidak senang denganmu utamanya.” Jongin meringis saat melilit pergelangan kakinya yang memerah. Hanya tinggal mereka berdua di ruang loker setelah yang lain pulang. “Jangan dimasukkan ke hati, ia hanya agak... sensitif untuk menjaga reputasi sekolah, tidak boleh kalah pada Jeon-Il keparat itu.” Ia berkata sambil berjalan pincang mengambil ranselnya.
Baekhyun mengangguk, memutar bahunya yang sakit. Apa yang Jongin katakan mengingatkan Baekhyun pada pertemuannya dengan mereka, dan bagaimana Zitao telah menyelamatkannya dari perkelahian. Ia yakin para “preman” itu telah mendapat pelajaran, untuk tidak melangkah di rumput tetangga. Meskipun ia sangat ingin memberitahu Jongin, sahabat terbaiknya, ia tidak mengatakannya. Ia tidak berpikir hal tersebut cukup penting.
“Pergelangan kaki Woohyun terkilir? Apa yang ia lakukan, jatuh dari tangga?” Baekhyun tertawa kecil, meskipun subjeknya bukan sesuatu yang pantas dijadikaan candaan.
“Ya, aku sudah meneleponnya, tapi tidak diangkat. Aku rasa lukanya cukup parah. Ibunya membuat surat pengaduan ke sekolah karena ini.”
“Apa itu rumor yang kau dengar?”
“Yah, aku mendengarnya dari Sehun yang mendengarnya dari Jongdae yang mendengarnya dari... seseorang.”
Baekhyun memutar bola matanya.
Ia rasa timing-nya sedikit tidak wajar. Woohyun memang menyebalkan, bersemangat, dan blak-blakan, namun ia tidak ceroboh. Sebenarnya, dia adalah pemain tercepat di tim mereka yang memiliki kontrol paling bagus. Beberapa bulan lalu, ia dan Nam Woohyun bersaing untuk meraih posisi kapten dan Baekhyun terpilih murni karena kepopulerannya. Kalau boleh jujur, Baekhyun merasa kemampuan Woohyun lebih baik darinya.
Dengan kartu as mereka terluka, Baekhyun tidak yakin mereka mempunyai kesempatan untuk menang melawan para pemain Jeon-Il yang lebih besar kuat.


“Baekhyun sangat... berbakat bermain sepak bola,” Chanyeol tersenyum, ibu jarinya terselip di bawah tali ranselnya. Mereka berjalan bersebelahan kali ini, meski Baekhyun tahu Chanyeol berjalan lebih lambat dari biasanya untuk mengimbangi dirinya yang langkahnya lebih pendek. Semburat kemerahan yang lembut menghiasi pipi Chanyeol saat ia mengatakannya, seperti gadis yang menyatakan perasaan pada seorang pemuda.
Untuk beberapa alasan, Baekhyun merasa senang. Menyenangkan rasanya mendengarnya dari orang lain, terutama setelah semua tekanan dari pelatihnya yang membuatnya merasa seperti pemain terburuk sepanjang sejarah. Sepatu sepak bola penuh lumpur yang ia bawa terasa lebih berat dari beberapa kilo. Benar-benar berat. “Terimakasih.” Ia berkata singkat karena tidak tahu kata lain yang lebih baik untuk dikatakan, dilihatnya Chanyeol dari sudut matanya.
Tidak ada yang berubah dari dirinya. Chanyeol kembali seperti Chanyeol, dengan mata berkedut, senyum bodoh, dan rambut cokelat keriting. Ia hampir terlihat seperti anjing.
“Kau masih mau bersekolah?” tanya Baekhyun ragu, bertanya-tanya apakah sekolah masih menjadi topik sensitif bagi Chanyeol.
Chanyeol mengangguk, menyeringai bodoh ke tanah.
“A-apakah kau ingin... menjadi seorang pemain sepak bola, Baekhyun?”
Baekhyun mengangguk sekarang, tanpa mengucapkan apa pun sampai saudara tirinya kembali bicara.
“Baekhyun akan menjadi pemain sepak bola yang hebat, paling hebat...” Chanyeol tertawa lembut membayangkannya. “Aku tidak tahu... a-apa impianku...”
“Kau ingin menjadi seorang guru...” kata Baekhyun lirih.


Larut dalam percakapan, Baekhyun belum menyadari sejauh mana mereka melewati rute yang ia ambil kemarin malam. Rumah Zitao tidak terlihat di mana pun, meskipun jelas dari sedikitnya pagar rumah yang terbuka dan jalanan sempit jelas sekali bahwa mereka tidak sedang berada di tempat yang aman.
Bagaimanapun juga, ia berhenti dan menyikut Chanyeol saat melihat seragam kuning-mustar.
Mereka berjumlah sekitar tujuh orang sekarang, dan seseorang yang samar-samar Baekhyun kenali menunjuk ke arah Baekhyun dan Chanyeol, seolah mereka memang telah menunggunya. Kali ini, mereka membawa balok kayu panjang dan tebal yang menimbulkan bunyi berat dan mengerikan saat mereka menyeret benda itu sepanjang jalan aspal.
“Di mana teman kungfu-mu?” ejek seseorang.
Baekhyun mendorong Chanyeol ke belakang.
“Chanyeol... lari.”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 10 "

Post a Comment