Baby's Breath FINAL CHAPTER
Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul .
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboyBaby's Breath [Indonesia] https://www.asianfanfics.com/story/view/390422/baby-s-breath-indonesian-indonesian-exo-translation-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
Baby's Breath [English/The Real] http://www.asianfanfics.com/story/view/378771/baby-s-breath-angst-romance-exo-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baby’s Breath
Baby’s Breath
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya.
Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi : Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baekhyun membuka mulut untuk berkata sesuatu namun kata-kata meloloskan diri dari kepalanya, hampir seperti ketika orang-orang melupakan bait-bait pidato pembukaan mereka. Pikirannya kosong saat ini, bertumpu pada setiap bagian kecil memori yang ia miliki untuk berkata sesuatu yang berarti pada Chanyeol.
Ia menoleh ke samping dan melihat saudaranya merawat bunga-bunga dan tak memperhatikannya, seperti biasa. Ada kelembutan dalam sentuhannya yang juga menenangkan Baekhyun, seolah bunga-bunga itu adalah dirinya dan Chanyeol memastikan setiap daun dan kelopak tertata rapi. Ia bahkan telah membawa penyiram entah dari mana dan tengah mengurus bunga-bunga yang telah menempuh perjalanan jauh dari kebun belakang toko bunga dimana matahari sukar bersinar hingga ke tempat ini. Baekhyun tersenyum saat Chanyeol tersenyum.
“Chanyeol,” ia memanggil saudaranya kembali, berharap perhatian Chanyeol tak teralihkan pada sesuatu yang lain dalam beberapa detik.
“Terimakasih.” Baekhyun berujar setelah jeda sejenak, “Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kukatakan tapi terimakasih. Aku merasa seperti… semua telah terucapkan tanpa kuketahui… dan kita telah melalui banyak hal. Kau selalu berada di sisiku, selalu. Kurasa terkadang aku tak melakukan cukup banyak hal untukmu karena kau selalu mendukungku tak perduli apa yang terjadi. Aku…” ia berbalik untuk melihat apa yang Chanyeol lakukan dan menghela nafas dramatis ketika ia melihat Chanyeol membungkuk di atas lumpur, menyingkirkan kerikil disana.
Ia tak mendengarkan.
“Chanyeol!” jeritnya, “Aku tengah mengutarakan isi hatiku padamu dan kau tak mendengarkan!”
Chanyeol menyeringai seolah ingin mengucapkan maaf dan berdiri di samping Baekhyun kembali, pandangannya beralih pada saudaranya yang seketika menyesali apa yang telah ia katakan. Mungkin akan lebih baik bila Chanyeol tak mendengarkan karena tekanannya lebih berat ketika ia menatapnya sepanjang waktu.
Baekhyun berdeham dan memikirkan hal lain untuk dikatakan. Sesuatu yang tak begitu picisan. “Kau tahu… Aku juga minta maaf. Maaf karena telah memanggilmu bodoh selama ini dan aku benar-benar minta maaf untuk…” Ia mengerling Chanyeol dan melihat saudaranya tersenyum lebar padanya . Ia tak bisa serta merta mengatakan bahwa ia bodoh di hadapannya jadi ia menelan kembali kata-katanya dan menebak bahwa Chanyeol mengerti apa yang ia pendam. “Maaf karena telah menyakitimu.” Itu dia. Hal itu terdengar sedikit lebih baik dan pantas.
“Tak mengapa.” Senyum Chanyeol. “Aku senang aku bisa bersamamu.”
Baekhyun pikir hal itu aneh bagaimana kata-kata itu mempunyai kekuatan untuk membuat hatinya berdenyut, dan ia tak yakin mengapa. Ia berpaling untuk menyembunyikan semu yang telah menyebar di pipinya dan mengangguk beberapa kali. “Kau bilang “Aku”,” ucapnya, terkekeh, “Kau selalu menyebut dirimu sebagai Chanyeol, dan sekarang kau dirimu sendiri?”
“Milik Baekhyun!” Chanyeol berseru dengan senyum yang mampu menyinari ribuan kota.
Bahkan setelah teman-temannya pulang dan mengatakan mereka akan bertemu lagi di sekolah, Baekhyun menghabiskan waktu bersama Chanyeol, bercengkrama. Sialnya, tak ada banyak hal yang bisa dilakukan ketika ia memakai kursi roda, jadi ia tetap tinggal di ruang keluarga dengan Chanyeol sementara saudaranya menghidupkan televisi untuk kartun sore. Lama-kelamaan, keduanya mula merasa bosan dan Baekhyun menggantinya ke saluran olahraga.
Ia menghela nafas ketika hal pertama yang muncul adalah siaran ulang pertandingan sepak bola.
Chanyeol sepertinya menyadari hal itu karena ia tiba-tiba berdiri dan menunjuk keluar. “Ayo keluar, Baekhyun!” ia berujar dan jelas bahwa ia tak menerima penolakan.
Lucunya adalah ketika Chanyeol memasangkan sepatu sepakbola padanya meskipun ibunya mengatakan untuk tak pergi keluar, Chanyeol mendorong kursi roda Baekhyun keluar pintu depan. Rasanya berbeda melihat segala sesuatu dari sudut pandang tuna daksa. Deraan untuk mampu berjalan terasa menyakitkan, tentu, namun tak ada yang mampu mengalahkan rasa aman yang ia rasakan ketika Chanyeol mendorongnya dari belakang.
Dalam perjalanan keluar, kursi rodanya tersangkut di celah pintu, namun mereka mampu melewatinya dan Chanyeol memastikan mereka tetap berada di satu sisi jalan yang jauh dari mobil dan motor yang berlomba-lomba. Mungkin ia yang paling tahu betapa berbahayanya sebuah kecelakaan.
Baekhyun berkesempatan melihat lingkungan sekitar rumahnya yang tua, melewatinya dalam warna-warna semu, satu dan setiap hal berbeda untuknya meski ia mengambil rute yang sama seringkali sebelumnya. Chanyeol berhenti dimanapun ia ingin berhenti, ia pergi kapanpun ia perintahkan. Sejenak kemudian, mereka sampa di sebuah lapangan hijau yang kerap kali digunakan sebagai lapangan sepakbola bagi anak-anak. Tanahnya agak berlumpur karena alat penyiramnya tak ada, namun lapangan itu hampir tak berpenghuni kecuali anak-anak yang bermain rugby di kejauhan.
Ia mengagumi mereka untuk beberapa saat dan bertaya-tanya bagaimana rasanya untuk mampu berlari kembali, namun ia mencoba untuk membuat kekecewaan tak terlalu tampak di wajahnya.
Sialnya, Chanyeol memergokinya tepat waktu.
“Ayo, kubantu,” senyum Chanyeol, tangannya terulur pada Baekhyun.
“Apa kau gila? Bila aku jatuh, barangkali kakiku akan patah jadi dua.”
“Aku tak akan membiarkanmu jatuh!” Chanyeol berjanji dan meraih tangan Baekhyun untuk digenggam. Kini dua pasang tangan telah saling genggam, ia perlahan menuntun Baekhyun keluar kursi rodanya.
Nyatanya, rasanya tak sesakit itu saat ia berdiri dengan menyeimbangkan diri pada Chanyeol, namun ia masih merasa sedikit lemah. Ia terhuyung tak seimbang karena kaki-kakinya tak lagi mampu menahan bobot tubuhnya tetapi Chanyeol menahannya setiap kali ia hendak terjatuh. Saat Chanyeol mengambil satu langkah mundur, ia melangkah maju layaknya bayi yang hendak belajar berjalan. "Jangan biarkan aku jatuh atau kubunuh kau, Park Chanyeol!" rengeknya, mencengkeram lengan Chanyeol sembari bersusah payah melangkah maju. Bukannya ia tak tahu bagaimana cara berjalan, hanya saja kaki-kakinya tak tahu bagaimana cara berfungsi.
"Tak akan!" Chanyeol tersenyum, "Kau berjalan, kau berjalan!"
"Jangan lepaskan aku!" jerit Baekhyun. "Aku akan membunuhmu, aku bersumpah!"
Bahkan ketika Chanyeol mencoba menarik tangannya menjauh, Baekhyun menggenggamnya erat dan menolak untuk melepaskan Chanyeol. Ketika mereka hampir mencapai jarak beberapa kaki, Baekhyun mulai merasa kaki-kakinya melemah dan ia tersungkur kedepan, tepat di rengkuhan Chanyeol.
Chanyeol menyeringai meski Baekhyun bersemu cerah dan memeluk saudaranya erat. "Sudah kukatakan aku tak akan membiarkanmu jatuh, Baekhyun!" ujarnya dan kembali menegakkan Baekhyun agar ia tak bersandar dengan posisi aneh padanya.
"Latihan" mereka hampir sukses dan Baekhyun telah mampu berjalan sendiri beberapa langkah sebelum ia kembali jatuh di pelukan Chanyeol. Keduanya memutuskan untuk mengakhirinya dan Baekhyun entah mengapa merasa bangga akan dirinya sendiri, setelah mendengar Chanyeol memujinya begitu sering atas sebuah hal sederhana. Mungkin hal itu begitu mempengaruhinya karena ia benar-benar merasa gembira dan menawarkan membeli jajanan kecil di pinggir jalan sebagai perayaan atas keberhasilan kecilnya.
Hari dengan cepat beranjak malam dan ketika mereka telah sampai di sekitar rumah yang sunyi, lampu jalan yang remang adalah satu-satunya penerangan mereka dengan lampu besar yang terus-menerus mendesis berlalu.
"Mungkin kita bisa pergi ke arkade besok, pasti akan seru. Aku akan tetap mampu mengalahkanmu meski aku memakai kursi roda." canda Baekhyun, mulai merasa gugup hanya dengan memikirkan pergi ke sana.
Chanyeol mengangguk dan menyeringai, mendongak sebentar untuk melihat bahwa lampu di depan pintu rumah mereka mati, membuat rumah mereka terlihat mengerikan seperti bagian dari bayangan. Ia harus meraba-raba tembok untuk menemukan pintu gerbang yang lalu ia buka dengan hati-hati dan mendorong kursi roda Baekhyun melewati jendulan merepotkan di tanah.
“Lampunya mati sejak kau pergi. Aku selalu tersandung, terakhir kali aku berakhir dengan goresan yang besar di lutut kananku karena tersandung pintu bodoh itu.” Baekhyun terkekeh.
Saat mereka berdua sampai di dalam, Chanyeol membantu Baekhyun ke kamar mandi agar mereka berdua dapat bersiap-siap tidur, dan sebelum Chanyeol sempat membawa piyamanya ke atas kasur, Baekhyun sudah terlelap, lelah setelah apa yang mereka lakukan seharian. Pemandangan itu begitu manis sampai Chanyeol mengaguminya sebentar, lalu menarik selimut sampai ke bahu Baekhyun supaya ia tak kedinginan. Bagaimanapun juga, Chanyeol sering melihat ibu Baekhyun melakukannya saat Baekhyun terjaga semalaman karena belajar. Beliau selalu menepuk kepalanya dan mencium keningnya dimana Chanyeol melakukannya juga (meninggalkan remahan kue di keningnya sebagai bonus).
Anehnya, dunia terasa begitu sepi tanpa Baekhyun jadi Chanyeol mencoba menyibukkan diri, menggertakkan giginya dan menyenandungkan nada sumbang untuk memecahkan kesunyian.
Ia mengingat sesuatu dan mencari ke dalam lemari Baekhyun untuk sebuah kotak perkakas kecil, dan menentengnya keluar. Lampu dengan bohlam yang rusak dengan mudah ia jangkau, jadi dengan hati-hati ia melepas bohlamnya dan mengambil sebuah bohlam yang baru dari kotak itu, menyipitkan matanya sambil mencoba memasang bohlam. Terdengar sebuah deruman sebelum lampu berbentuk cakra itu menyala terang dengan sebuah bola lampu di tengahnya, menerangi jalanan yang gelap dan wajah Chanyeol.
‘Sekarang Baekhyun tidak akan jatuh lagi,’ pikirnya, dan mengalihkan pandang agar ia tak menatap langsung cahaya itu. Merasa senang, dia masuk kembali ke dalam dengan menenteng kotak perkakas itu. Rumah mereka bersinar lebih terang dari rumah-rumah yang lain di sekitar mereka malam itu.
Ia buru-buru masuk ke dalam sebelum udara dingin menggigit kulitnya, menggigil saat ia menutup pintu di belakangnya. Saat ia masuk ke dalam kamarnya, Baekhyun masih seperti saat ia meninggalkannya, tertidur lelap dengan sebuah senyuman di bibirnya. Pemandangan itu membuat Chanyeol ikut tersenyum, bahunya menurun sedikit.
Dengan hati-hati ia menaruh kotak itu dan naik ke kasur di samping Baekhyun, memastikan tak ada suara keras yang dia buat saat ia berbaring disana. Ia memasukkan tangannya ke bawah bantal dan jari-jarinya menyentuh sesuatu yang keras. Perlahan-lahan ia menarik sesuatu yang terlihat seperti buku jurnal, buku yang sama yang ia berikan kepada Baekhyun saat ia pergi ke institusi berbulan-bulan yang lalu.
Lembaran-lembarannya sudah usang dan ujung-ujungnya tertekuk sedikit dan robek, mungkin karena Baekhyun telah membukanya begitu sering untuk membacanya sebelum tidur. Chanyeol berbaring dan menjauhkan bukunya agar ia bisa mencoba membaca halaman yang sekarang terlihat lebih jelas karena matanya sudah terbiasa dengan kegelapan.
Segalanya masih utuh, gaaris-garis pensil tercoreng sedikit dan lembaran-lembarannya sedikit basah. Menjelang akhir dari buku itu, ia melihat halaman yang lebih bersih daripada halaman yang lain, sebuah halaman yang hanya terisi oleh sebuah puisi yang ia salin dengan rapi dari sebuah brosur rumah sakit. Ia membacanya pelan, kata-kata itu masuk dengan mudah ke kepalanya saat ia mendengar suara di telinganya.
Ia agak kesusahan dengan kata-katanya tapi setidaknya puisi itu adalah puisi yang dihafalnya dengan hati jadi hal itu tidak terlalu buruk.
Saat ia sampai pada halaman terakhir, ia menyadari bahwa sebagian besar halamannya sudah terisi tetapi ia tidak ingat menulis kata-kata yang ada di halaman terakhir. Itu adalah tulisan tangan Baekhyun, tercetak dengan huruf kecil:
“Di dunia yang selanjutnya, biar kita terlahir kembali sebagai saudara.
Biar kita terlahir kembali sebagai teman.
Biar kita terlahir kembali sebagai sepasang kekasih.
Biar kita terlahir kembali sebagai bunga.
Biar kita terlahir kembali kembali bersama-sama.”
THE END
THE END
0 Response to "Baby's Breath FINAL CHAPTER"
Post a Comment