Baby's Breath Chapter 2
Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul .
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboyBaby's Breath [Indonesia] https://www.asianfanfics.com/story/view/390422/baby-s-breath-indonesian-indonesian-exo-translation-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
Baby's Breath [English/The Real] http://www.asianfanfics.com/story/view/378771/baby-s-breath-angst-romance-exo-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baby’s Breath
Baby’s Breath
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya.
Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi : Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jantung Baekhyun bertalu-talu di dada saat ia menunggu suara dari ujung sana menjawab. Bahkan setelah satu menit berlalu, tidak ada tanggapan, yang mana sungguh aneh karena Chanyeol selalu mengangkat teleponnya setelah dering pertama, apalagi jika panggilan itu darinya. Tidak mungkin Chanyeol tidak mendengar bunyi dering ponsel di dekat lehernya, kecuali kalau keterbelakangan mentalnya jauh lebih buruk dari yang Baekhyun kira. Tetapi, sekali lagi, itu hanya Baekhyun yang berusaha meyakinkan diri bahwa Chanyeol ada di rumah dan sedang tidur siang, mungkin.
Bukannya dia bersungguh-sungguh memperhatikan Chanyeol, tapi dia lebih mengkhawatirkan hidupnya kalau sampai saudara tirinya berkeliaran dan terjadi sesuatu. Ibunya akan memenggal kepalanya kalau sampai itu terjadi; lagipula, separuh hidupnya berpusat pada Chanyeol meski Baekhyun tidak mengerti kenapa. Selalu saja Chanyeol ini, Chanyeol itu. Belikan Chanyeol sepatu baru! Ayo ajak Chanyeol makan malam di luar!Sebagai anak tunggal yang tiba-tiba harus menyesuaikan diri dengan orang lain yang mengambil alih seluruh perhatian ibunya, Baekhyun bergolak penuh rasa iri.
“Hei, pelatih, sepertinya aku tidak bisa ikut latihan hari ini, ada masalah.” Akhirnya dia berkata setelah beberapa saat berkontemplasi. Dia tahu pertandingan musiman sudah dekat dan Baekhyun tidak dapat melewatkan satu latihan pun, namun ia tidak punya pilihan.
Dia menaiki bis ke rumah dan berlari kencang dari tempat pemberhentian bis, ke rumahnya, kemudian menerobos masuk pintu depan begitu saja, benar-benar kehabisan nafas. Pintu depannya, seperti yang dia ingat, tidak terkunci. Terlalu panik bahkan untuk sekedar melepas sepatunya dulu, Baekhyun melemparkan tas ranselnya ke samping rak sepatu dan masuk, memanggil-manggil nama Chanyeol.
Hatinya terbenam dalam kelegaan ketika dilihatnya pemuda itu tergeletak di lantai ruang tengah masih seperti saat ia meninggalkannya, sehat walafiat. Ketegangan di bahunya mengendur seketika dan Baekhyun nyaris kehilangan tenaga untuk tetap berdiri.
“Baekhyun, ponselnya!” Chanyeol berseru, sambil beranjak bangun dan meninggalkan notebook serta pensilnya untuk menunjukkan saudara tirinya itu layar ponsel yang hitam. Baterainya habis. Menilik cara Chanyeol menekan tombol ‘Home’ berulang kali untuk menghidupkannya, Baekhyun berpikir bahwa dia bahkan tidak tahu kalau ponsel itu menyala karena listrik. Bagi Chanyeol, seluruh dunia ini sederhana. Ponsel hanyalah sebuah alat aneh bin ajaib yang menghubungkannya dengan Baekhyun hanya dengan sekali tekan.
“Tentu saja, ponselnya mati, bodoh. Kau meneleponku setidaknya ratusan kali,” dia bersungut-sungut, sambil menarik kalung dari leher Chanyeol (dia harus berjinjit karena si bodoh itu sangat tinggi), “aku sudah bilang padamu untuk menelepon kalau sedang darurat saja.”
Chanyeol duduk di lantai kayu kembali tanpa banyak kata, meraih notebook yang halaman-halamannya penuh dengan huruf-huruf dan kalimat yang berantakan. Persis anak kecil yang belajar membaca dan menulis, Chanyeol mempelajari hal yang sama, hanya saja dia masih belum bisa menulis namanya sendiri kalau tidak ada orang yang mengucapkannya paling tidak sepuluh kali. Berbaring tengkurap sekarang, Chanyeol menggenggam pensilnya kuat-kuat dan menatap Baekhyun penuh harap.
“Park. Chan. Yeol.” Dia mengulang dengan helaan nafas sembari melepas blazer seragamnya, “Kalau kau menulis ‘yeo-eut’ terbalik lagi, aku akan membunuhmu, Park. Chan. Yeol.”
Chanyeol mengangguk dan menundukkan kepalanya, pandangannya lurus dan fokus pada kotak-kotak yang terdapat di halaman. Dengan hati-hati, dia menuliskan suku pertama namanya, lalu kedua, dan saat tiba di ‘yeol’, dia berhenti sejenak dan menjulurkan lidah dalam konsentrasi. Tangannya mulai berkeringat karena berpikir terlalu keras; kalau ia sampai berpikir lebih keras lagi, asap pasti akan keluar dari telinganya. Akhirnya, dia menunjukkan halaman tersebut pada Baekhyun, yang mengambilnya dan melipat salah satu sisi buku ke belakang.
“Kau menulis ‘yeo-eut’ terbalik lagi!” Baekhyun memutar bola matanya dan melemparkan notebook itu ke dada Chanyeol, “Kau bahkan tidak bisa menulis namamu sendiri, kau itu seberapa bodoh? Harusnya Park Chanyeol, bodoh, bukan Park Chanyal!”
Dia berbalik sebelum sempat melihat ekspresi sedih di wajah Chanyeol, yang tidak mampu mengabaikan rasa bersalah yang mulai berkumpul di tenggorokannya. Dia tidak bermaksud untuk meneriakinya, tetapi dia begitu frustasi setelah kejadian hari ini sampai-sampai ia tidak menginginkan apa pun selain tidur dan berharap Chanyeol akan menghilang keesokan paginya. Dengan adanya dia di sini, dia tidak dapat mengundang teman-temannya yang sering ia ajak bermain sepulang sekolah ke rumah karena harus mengawasi Chanyeol.
Baekhyun mendesah pelan saat berjalan menuju kamarnya untuk berganti baju, “Ayo jalan-jalan.”
Pergi berjalan-jalan bisa berarti dua hal: membeli es krim, atau pergi ke toko bunga keluarga. Toko itu milik neneknya, namun ketika beliau meninggal beberapa bulan yang lalu, keluarga Baekhyun mewarisi tempat tersebut. Awalnya, mereka berniat menjual atau merenovasi toko itu, namun akhirnya mereka memutuskan untuk menjaganya sebagai kenang-kenangan. Ditambah lagi, Chanyeol menyukai toko itu. Dia menghabiskan berjam-jam untuk merawat bunga karena hampir tidak ada hal membahayakan untuk dilakukan di sana, kecuali kalau Chanyeol cukup ceroboh untuk menjatuhkan pot di sana-sini. Sepulang sekolah, Baekhyun akan membuka toko dan mengurus bisnis mereka di bagian depan sementara Chanyeol tinggal di belakang, menyiram atau memangkasi tanaman.
Dia juga membuat karangan-karangan bunga yang bagus, yang mana cukup mengejutkan karena Baekhyun tidak menduga Chanyeol dapat melakukan sesuatu yang membutuhkan otak. Kalau saja Chanyeol dapat menulis namanya sebagaimana dia menata bunga-bunga, dia tidak akan mengeluh lagi.
Keduanya tidak berjalan berdampingan di acara jalan-jalan siang mereka karena Baekhyun tidak ingin dikira sebagai kenalan Chanyeol, apalagi berteman dengannya. Namun, kapan pun Baekhyun mendecakkan lidah, Chanyeol akan menyusul di belakangnya sambil menoleh ke kanan, ke kiri, ke mana saja, kagum akan pemandangan dan suara-suara di sekitarnya.
Begitu garasinya terbuka dan semua perlengkapan siap untuk hari ini, dia melihat Chanyeol mengenakan celemek kerja dan ia ingin tahu bagaimana bisa seseorang terlihat begitu berbeda di dua tempat. Dengan celemek kerja terpasang, rambut diikat longgar ke belakang membentuk ekor kuda, dan kacamata berbingkai tebal di batang hidungnya, Chanyeol terlihat seperti pemuda yang keluar dari komik-komikshoujo; seperti seorang pemuda yang selalu bekerja di toko bunga. Kemiripannya malah terlihat semakin nyata ketika Chanyeol mencondongkan badan di atas barisan-barisan pot bunga dengan alat penyemprot di tangan.
Di sisi lain, Baekhyun sama sekali tidak tertarik dengan bunga dan hanya menunggui mesin kasir. Itulah mengapa dia menyimpan setumpuk komik Naruto di sebelahnya, berjaga-jaga kalau ia bosan, yang sayangnya sangat sering terjadi.
Bisnis selalu agak sepi di hari-hari biasa, sementara di akhir minggu dan hari libur sangat ramai. Orang-orang meninggal dan merayakan sesuatu tiap harinya, sehingga selalu ada pesanan karangan bunga untuk pemakaman, kelahiran bayi, dan terkadang untuk lamaran yang dipesan seorang pria untuk seorang wanita yang beruntung. Baekhyun hampir tidak pernah mengetahui nama-nama bunga, jadi dia membiarkan Chanyeol yang bekerja merangkainya. Itu membuat si bodoh itu tetap sibuk.
Baekhyun akan membacakan pesanannya pada Chanyeol yang akan merangkainya menjadi sebuah buket tidak kurang dari tiga puluh menit untuk diantarkan oleh orang suruhan atau diambil sendiri oleh sang pembeli secara tunai. Kebanyakan pesanan berisi mawar, anyelir, atau berbagai macam bunga lili yang selalu menjadi favorit setiap waktu.
Dari semua jenis bunga, Chanyeol menyukai bunga Baby’s Breath; bunga putih, mungil dan bergerombol, yang biasanya dirangkai bersama mawar untuk membuat sang mawar tampak menonjol secara estetis. Baekhyun tidak tahu mengapa pemuda tersebut sangat menyukainya, namun begitulah, dia selalu menambahkan Baby’s Breath jauh lebih banyak daripada florist pada umumnya.
“Enam belas mawar, dengan pita warna emas. Buatlah yang bagus, Chanyeol, pelanggan ini akan melamar kekasihnya satu jam lagi.”
Chanyeol menyiapkannya dalam tiga puluh menit, mawar-mawarnya dibentuk hati dengan Baby’s Breath yang berkerumun di sekelilingnya. Dia tampak puas dengan hasilnya saat ia menyerahkannya pada Baekhyun, yang sedang menuliskan selembar catatan untuk menyertai buket tersebut dengan tulisan tangannya yang paling bagus.
Barulah kemudian, sebuah panggilan masuk ke ponselnya dan Baekhyun menahan ponselnya di antara pipi dan bahunya, sementara Chanyeol kembali menyiram bunga di belakang.
“Di warnet? Aku sedang sibuk sekarang…” Baekhyun menjelaskan, “Hei, tahu tidak, setelah aku pikir-pikir lagi, aku akan ada di situ jam sepuluh, jangan memulai babak tanpa aku!” Dia menutup ponselnya, tiba-tiba sibuk dalam bayangannya bermain Starcraft dengan teman-temannya di sebuah warnet hanya beberapa blok dari tokonya. Kalau Chanyeol tinggal di toko, dan dia kembali ke toko satu jam kemudian berarti, tidak apa-apa, kan? Toh, sangat tidak mungkin pembeli datang pada jam lima sore untuk membeli bunga.
“Hei, Chanyeol, aku akan keluar sebentar membeli es krim untuk kita, tetaplah di sini, ya?”
Chanyeol mengangguk, menatap bingung ketika Baekhyun pergi terburu-buru.
0 Response to "Baby's Breath Chapter 2"
Post a Comment