Baby's Breath Chapter 3


Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah jam delapan malam; tiga jam setelah Baekhyun meninggalkan Chanyeol sendirian.
Baekhyun dengan mudahnya telah melupakan saudara tirinya yang mengurus toko sendirian, terlalu terbenam dalam kesenangan menghabiskan waktu bersama teman-temannya untuk menyadari bahwa langit mulai gelap di luar ruangan warnet yang remang. Hanya ketika Jongdae dan Sehun mendapat panggilan dari orangtua mereka, Baekhyun baru menghentikan permainannya dan mengecek waktu.
“Hei, kau baik-baik saja? Kau seperti baru melihat hantu saja.” Jongdae menyeringai, “Masih gemetar setelah kukalahkan dua kali berturut-turut?”
Baekhyun mendengus, jelas berusaha bersikap tenang sementara panik mulai merambat naik ke ujung telinganya. Mengabaikan itu sebisanya, ia melangkah keluar dari warnet bersama teman-temannya dan melambai pada mereka, bersyukur bahwa mereka berjalan menuju arah yang berbeda dan bukan ke arah toko bunga miliknya. Begitu Jongdae dan Sehun menghilang dari pandangan dan pikirannya, Baekhyun berbalik dan melesat kencang seperti saat ia berlari ke gawang lawan. Kalau ia tidak berlari lebih cepat, maka ia mungkin akan kehilangan segalanya.
“Chanyeol!” ia memekik ketika tiba di toko bunga yang kosong dan gelap. Ia tidak ada di sana. Ia tidak ada di belakang menyirami bunga atau menyusun pot sesuai warnanya. Bahkan apron kerjanya pun telah menghilang, begitu juga dengan buket mawarnya.
Baekhyun mengunci toko secepat yang ia mampu dan mulai berlari ke jalanan. Dengan akal Chanyeol yang seperti itu, tidak mungkin ia pergi terlalu jauh dengan kedua kakinya, tidak mungkin juga ada kemungkinan bahwa ia diculik. Ia berlari ke setiap toko yang masih buka dan menanyai setiap penjaga toko kalau mereka melihat seorang pemuda tinggi dan bertampang dungu lewat, namun mereka semua menggeleng. Di perempatan, ia berhenti sejenak untuk mengambil nafas, bertanya-tanya apa sebaiknya ia memberi laporan orang hilang ke kantor polisi jikalau sesuatu memang terjadi pada Chanyeol dan ia hanya menyia-nyiakan waktunya mencari di tempat yang salah.
Bersandar pada telepon umum, ia baru saja akan menekan nomor darurat itu ketika matanya menangkap sesosok pemuda tinggi nan dungu di seberang jalan. Baekhyun tetap diam, berusaha tidak menarik perhatian Chanyeol dan membuat pemuda bodoh itu menyeberang jalan tanpa menunggu lampu hijau terlebih dulu. Ketika ia sampai di seberang jalan, ia baru menyadari bahwa pemuda itu tengah tidur di bangku taman, buket mawar tergenggam erat di dadanya. Seseorang yang baru saja melewatinya, menaruh selembar koran di atas sang pemuda, membuatnya tampak lebih bodoh, layaknya seseorang yang baru saja ditolak.
“Chanyeol,” ia menggertak, “Park Chanyeol!”
Terkejut, sang pemuda tinggi terbangun dengan agak terhuyung, satu tangan mengucek mata. Dengan rasa kantuk yang masih samar di pelupuk matanya, ia terlihat begitu girang melihat Baekhyun lagi. “B-Baekhyun!”
Akan tetapi, senyum itu menghilang ketika Baekhyun menamparnya pipinya keras. “Baekhyun...” ia bergumam pelan, bibir bawahnya gemetar saat ia mengangkat satu tangan ke pipinya yang memerah.
 “Aku sudah bilang padamu untuk tetap tinggal di toko!” teriak Baekhyun, urat nadi menonjol di lehernya seiring amarah menguasai rasa kasihan yang awalnya ia rasakan, “Kau itu bodoh atau bagaimana? Apa kau tidak mengerti saat aku bilang untuk tetap berada di tempat? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?!” Dan semua akan jadi kesalahanku.
Chanyeol menggigit bibir bawahnya dan dengan hati-hati menyerahkan buket mawar pada Baekhyun, yang hanya melempar buket itu ke tanah.
“Kau tidak bisa mengerti apapun yang aku katakan, kan? Yah, aku harap kau tidak pernah dilahirkan.” Untuk sepersekian detik, hatinya terasa sesak di dada saat ia melihat air mata menggenang di mata Chanyeol. Ia meyakinkan dirinya bahwa tidak mungkin pemuda dungu itu mengerti kedengkian di balik kata-katanya, dan Chanyeol hanya menangis layaknya bayi karena ia tidak mau dimarahi. Baekhyun berbalik dan menekan tombol lampu penyeberangan lagi.
Aku berharap kau tidak pernah dilahirkan.


Baekhyun menghela nafas, menatap halaman PR yang kosong seolah semua jawaban akan tertulis dengan sendirinya secara ajaib. Setelah kepindahan Chanyeol, belajar merupakan hal yang sulit dikerjakan. Ia tidak dapat berkonsentrasi karena Chanyeol selalu menonton drama di ruang tengah dengan volume keras. Setiap kali Baekhyun mengatakan betapa mengganggunya hal itu, ibunya akan selalu memihak Chanyeol.
Malam ini, ibunya tidak di sini karena beliau masih ada pekerjaan ketiga yang harus ia kerjakan hingga tengah malam, yang mana berarti Baekhyun harus memasak makan malam dan memandikan Chanyeol sebelum tidur. Ia memutuskan memasak ramen (Chanyeol memakan mi-nya saja karena kuahnya terlalu pedas), namun ia tidak mengharapkan waktu mandi tiba, ew, ia harus memandikan seorang pria dewasa.
Membuka pintunya, ia melangkah menuju ruang tengah dan menemukan Chanyeol bergelung dalam selimut Pororo yang kekecilan, semangkuk es krim tergeletak di antara kakinya yang bersila. Ia tengah menonton drama, Secret Garden, begitu serius sampai Baekhyun nyaris merasa bersalah ketika ia mematikan televisi.
“Aku sedang mengerjakan tugasku sekarang dan aku tidak bisa konsentrasi karenamu,” ia bergumam, melempar notebook dan pulpen yang ada di atas meja pada Chanyeol, “Kau kerjakan PR-mu, aku akan mengerjakan milikku.”
Untungnya, Chanyeol bukanlah tipe yang suka membantah, jadi begitu Baekhyun memberinya hal lain untuk dikerjakan, ia akan fokus pada hal itu.
Selama belajar, ia mengira Chanyeol sudah terlelap karena di luar begitu sunyi, jadi ketika ia beristirahat sepuluh menit untuk minum, ia mendapati pemuda itu membungkuk di atas meja, menghitung angka dengan jari-jarinya. Dari yang ia dapat, Chanyeol memiliki keinginan untuk belajar yang lebih besar daripada Baekhyun. Meskipun ia tidak mempelajari operasi pertambahan dengan mudah, setidaknya ia mencoba setiap hari sampai bisa menyelesaikan satu soal dengan benar, dari seratus soal.
“Kau payah...” Baekhyun menghela nafas saat ia melewati Chanyeol, “Hei, Yeol, ayo mandi.”
Memandikan Chanyeol merupakan petualangan terbaik dalam seharian ini baginya, sementara bagi Baekhyun merupakan pekerjaan sehari-hari untuk membersihkan seluruh tubuhnya, dan saat ia bilang seluruhnya, maka itu berarti seluruhnya; di belakang telinganya, di antara kakinya, dan di bawah ketiaknya. Ia memakai sarung tangan karet merah yang sering dipakai ibunya untuk mencuci piring saat mengeramasi helai rambut Chanyeol, menimbulkan suara decitan tiap kali tangannya tergelincir menuju area terlarang.
“Ah, Baekhyun, sabun!” dengking Chanyeol, memejamkan matanya yang pedih oleh busa. “Baekhyunn!”
“Diam!” bentak Baekhyun dengan logat kentalnya, menyiram wajah Chanyeol hingga megap-megap. “Kau harusnya bersyukur memiliki saudara sepertiku untuk mengurusimu,” gumam Baekhyun sembari memijat kulit kepala Chanyeol dengan shampo, menarik kursi ke belakang bak mandi untuk mempermudah pekerjaannya. Ia menghela nafas, melepaskan sarung tangannya agar ia bisa membersihkan rambutnya lebih baik dengan tangannya. Setelah beberapa saat, leher Chanyeol yang tegang melemas dan Baekhyun mengira bahwa ia sudah tertidur lagi.
Saat ia tertidur...
“Aku tidak bermaksud membentakmu tadi,” Baekhyun bergumam ragu, “Aku hanya marah karena aku harus terus mengkhawatirkanmu dibanding hal-hal lain yang perlu aku perhatikan. Aku pikir kau ada hanya untuk mengacaukan hidupku. Dan memang...” ia terdiam, mencondongkan diri untuk melihat pelupuk mata Chanyeol yang tertutup dan bibirnya yang berkedut. Ia memutar bola mata. “Tapi kau bahkan terlalu bodoh untuk menyadari bahwa apa yang kau perbuat itu salah...”
Jemarinya menyusuri bekas luka tepat di atas telinga Chanyeol, sesuatu yang sepertinya ia lewatkan karena ia selalu memakai sarung tangan sebelumnya. Bekas luka itu panjang dan tebal, melintang dari belakang kepalanya hingga ke telinganya. Menyentuhnya membuatnya merinding.
“Dasar bodoh.”


Setelah memandikan dan memakaikan Chanyeol pakaian, Baekhyun membawa Chanyeol yang setengah sadar dengan lengan melingkar di bahu sang pemuda, menidurkannya di sofa ruang tengah dengan sebuah selimut menutupi. Dia amat lelah hingga tidak berminat lagi belajar, jadi ia menutup bukunya dan mematikan lampu meja. Baru saja ia hendak tidur, ia melihat secarik kertas tersembul di bawah pintunya, sesuatu yang ia lewatkan ketika membuka pintu sebelumnya.
Lipatan kertas itu jelek dan sepertinya dirobek dari buku matematika Chanyeol.
Melesak ke tempat tidurnya, ia menyandarkan kepalanya pada bantal dan membuka lipatan kertas tebal itu dan menemukan sebuah pesan di dalamnya ditulis dengan tulisan tangan yang buruk namun menyentuh:
Byun Back Hin
Park Chanyeol
Maafkan aku...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 3"

Post a Comment