Baby's Breath Chapter 4


Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Byun Baekhyun, lekas bangun, kau akan terlambat ke sekolah!”
Baekhyun menarik seprainya hingga menutupi kepalanya dan mengerang, menggulung rapat dirinya seperti burrito panggang agar ibunya tidak dapat menarik selimutnya. Dengan wajah mengantuk, ia menyembulkan kepalanya dari balik selimut dan melirik ke arah jam digital di atas meja, cahaya hijau berkedip-kedip menunjukkan pukul 6 pagi. “Ibuuuuu,” rengeknya, “masih ada satu jam untuk tidur!”
Sifat keras kepala sudah mengalir dalam darah, jadi ibu Baekhyun tidak ambil pusing menggubris rengekan anaknya pagi-pagi begini. Dengan cara yang disebut Baekhyun 'kekerasan dalam rumah tangga', ibunya membangunkannya dengan paksa dan mendorongnya ke kamar mandi berikut seragamnya beserta beberapa handuk. Baekhyun, masih setengah sadar, menggumam tidak jelas dan masuk ke dalam bak mandi untuk mandi pagi, hanya untuk mengingat celana bekas ompol Chanyeol yang ia tinggalkan di situ sejak kemarin pagi. Bau pesing menyerang indera penciumannya dan membangunkannya seketika, seperti dipukul di kepala tanpa peringatan atau semacamnya.
Celana disingkirkan, Baekhyun pun melanjutkan mandi dengan mood yang buruk, lalu keluar dari kamar mandi dengan seragam sekolah sudah melekat di tubuhnya. Chanyeol berdiri tepat di pintu saat Baekhyun hendak pergi, mengenakan seragam yang tidak asing...
“Ibu, Chanyeol memakai seragam cadanganku?!” teriak Baekhyun cukup keras untuk dapat didengar ibunya, di manapun ia berada.
Chanyeol menjawabnya dengan gelengan kepala dan cengiran bodoh di wajahnya lagi, menunjuk-nunjuk plat nama warna kuning di dadanya yang belum terukir namanya. Dia juga memanggul tas ransel baru dan bermerek yang sudah diidam-idamkan Baekhyun sejak tahun pertamanya di SMA.
“Tidak, sayang,” ibunya pun muncul sambil mengapit beberapa dokumen di tangannya dan mengelus rambut Chanyeol di belakang kepala, “Chanyeol akan bersekolah denganmu. Dia akan ditempatkan di kelasmu, ibu sudah mengaturnya dengan kepala sekolah.”
“Tunggu, apa? Bu!” protes Baekhyun, “teman-temanku akan mengolok-olokku kalau dia ada di sana!”
“Baekhyun,” hardik ibunya dengan tatapan tajam, yang mana membuat Baekhyun menciut, dan ia pun mengerti seketika bahwa mau tidak mau ia harus menuruti kata ibunya. Chanyeol akan pergi ke sekolah dengannya, dan tak ada yang bisa ia perbuat. Menatap tajam saudara tirinya yang terlalu antusias itu, Baekhyun duduk di lengan sofa sambil mengamati ibunya yang mondar mandir untuk bersiap-siap menghadiri pertemuan di sekolah.
“Ia akan mengikuti kelas khusus sesudah jadwal wali kelas, jadi kau tidak perlu mengkhawatirkannya sampai sepulang sekolah.”
“Tapi aku ada latihan sepak bola!”
“Ajak Chanyeol bersamamu! Aku yakin si manis ini bisa duduk di bangku penonton dan menonton,” kata ibunya sambil tersenyum, menepuk-nepuk bahu Chanyeol memberi semangat, “Iya kan, Chanyeol?”
Chanyeol mengangguk penuh semangat.
Baekhyun menaruh sikunya di atas lutut, menopang dagu dengan telapak tangannya, dan menggembungkan pipi. “Kau lihat apa, tolol?!” ia membentak Chanyeol tanpa alasan. Bagaimana bisa ia merasa senang jika ia harus membawa saudara tirinya yang terbelakang ke sekolah, ke tempat di mana ia terbebas dari kewajibannya sebagai pengasuh Chanyeol. Ibunya sendiri tidak mau mengerti kesulitannya, dan mengharap simpati dari seorang idiot adalah hal yang bodoh untuk dilakukan.




“Park Chanyeol, lebih baik sekarang kau dengarkan aku kalau aku bilang jangan berlagak seolah-olah kau mengenalku,” bisik Baekhyun pada pemuda satunya di luar kantor kepala sekolah—tempat ibunya mendiskusikan rencana untuk menyekolahkan Chanyeol dengan para penanggung jawab sekolah—seraya meninju Chanyeol di rusuk. Dia kembali mengintip ke jendela, menerka-nerka apa yang kira-kira dibahas oleh para orang dewasa hingga perlu menghabiskan waktu setengah jam. Apapun itu, kedengarannya serius jika dilihat dari ekspresi ibunya.
Chanyeol yang tidak tahu apa-apa mengintip di balik bahu Baekhyun, namun ia didorong kembali.
Baekhyun menyelipkan ujung kakinya di celah pintu, membukanya sedikit agar ia bisa menguping (atau mencobanya).
“Agak sulit untuk dikatakan bahwa kelas spesial kami pantas bagi Chanyeol saat ini, Nyonya Byun. Anak itu tidak mengikuti pendidikan dasar, hanya home-schooling bertahun-tahun tanpa bukti tertulis.”
“Tolonglah, Pak Kepala Sekolah, Chanyeol belum pernah bersekolah di sekolah umum, dan ia sangat senang bisa memakai seragam.”
“Ya, saya mengerti. Menyedihkan bagi saya untuk mengumumkan bahwa tingkat kecerdasan Chanyeol saat ini setara anak kelas 2 SD. Bahkan kelas khusus kami pun tidak akan banyak membantu...”
“Paling tidak izinkan ia bersekolah di sini selama seminggu. Itu akan sangat berarti baginya.”
Baekhyun tidak tahan mendengarnya. Ia memutuskan mundur dan hampir saja menabrakkan punggungnya ke dada Chanyeol.
Jika dilihat dari ekspresi linglung Chanyeol, anak itu tampak seperti tidak pernah mendengar apa-apa, atau kalaupun mendengar, ia sama sekali tidak paham situasinya. Inilah yang paling meremukkan hatinya: fakta bahwa Chanyeol tidak tahu apa-apa namun tetap berdiri di sana dengan senyum bodohnya.
Baekhyun segera berbalik dan berjalan cepat menuju lorong tanpa menunggu ibunya, dan Chanyeol hanya menatapnya, urung mengikutinya karena takut membuat Baekhyun jengkel lagi.



“Hei, kau sudah dengar? Anak baru itu, Chanyeol, di kelas kita? Dia mengambil kelas khusus dan kudengar ia lebih bodoh dari anak kelas 2 SD,” celetuk seorang teman sekelas.
“Bagaimana saat ia berkedut seperti orang autis, seperti ini,” Jongin terkekeh, memperagakan mata yang berkedut-kedut dan mengejang-ejang singkat. “Sehun bilang ia terpeleset kakinya sendiri dan menumpahkan makan siangnya di sekujur tubuhnya!”
Baekhyun memalingkan muka dari teman-temannya, matanya fokus pada komik Naruto yang di depannya, tepatnya pada halaman yang sudah ratusan kali dibacanya sampai sekarang, pandangannya mungkin dapat melubangi huruf-huruf yang tercetak di situ. Semakin temannya mengejek dan mencela saudara tirinya, semakin ia merasa terganggu.
Dia tidak mengatakan apapun selain membereskan barangnya dan keluar kelas setelah bel terakhir berbunyi.
Pipinya memerah karena malu.



“Baekhyun!” Jongin tersenyum lebar seraya merangkul pundak Baekhyun yang lemas dari belakang, “Kau terus saja meninggalkanku. Kau tahu kalau hari ini ada latihan dan pelatih mempertimbangkan mencoret namamu dari tim kalau kau tidak datang lagi hari ini, kan?”
Baekhyun menggotong tas olahraganya dan mengangguk. Kakinya terasa lebih berat daripada biasanya begitu mendekati lapangan. Kepalanya penuh terisi oleh Chanyeol sampai-sampai tidak ada ruang untuk memikirkan hal lain. Bahkan latihan pun menjadi beban, begitu pula teman-temannya yang mencoba mengajaknya ngobrol. Rekan setimnya (sebagian besar mereka adalah temannya) sudah berkumpul di lapangan rumput, lari di tempat untuk pemanasan. Sekali ini, dia satu-satunya yang belum mengenakan atribut latihan, dan karenanya ia mencari hamparan rumput kering untuk memakai kaos kaki dan sepatu sepak bolanya.
Seandainya saja ada cara untuk mengubur diri dalam-dalam di bawah tanah, Baekhyun pasti sudah melaksanakannya dalam sekejap mata, karena mimpi buruknya telah menjadi kenyataan dan mendatanginya dengan cengiran konyol. Chanyeol melambai ke arahnya dari seberang lapangan dan tidak perlu penglihatan tajam bagi Baekhyun untuk menyadari kekacauan yang akan dihadapinya.
“Dia melambai pada siapa?” tanya Jongin mencemooh, mendongak dari latihannya dan memandangi sosok yang datang untuk menonton sesi latihan mereka.
“Tidak tahu ya,” Minseok tertawa, menepuk bahu Baekhyun, “kurasa ia melambai ke arahmu. Kau kenal dia?”
Baekhyun bertingkah seolah dia tidak ada untuk beberapa saat sebelum berpura-pura jadi semakin kentara, ia pun bangkit berdiri, mengusap-usap debu dari celananya. “Aku tidak tahu,” ia mendengus, “pertama kali melihatnya.” Ia melempar-lemparkan bola dengan satu tangan sambil tertawa garing bersama teman-temannya ketika Chanyeol datang mendekat, menyodorkan secarik kertas padanya.
Itu adalah tugas menulis yang sudah dikerjakan oleh Chanyeol di sekolah. Di bagian atas tertulis '95%' dengan spidol merah dan di sampingnya tertempel sebuah stiker smiley. Bahkan namanya pun tertulis dengan benar di kotak yang disediakan. “Baekhyun,” Chanyeol berseru, berharap Baekhyun mengambil kertasnya, memberi pujian atas hasil kerjanya, lalu mengajaknya makan es krim bersama sepulang sekolah untuk merayakannya.
“Hei, bukannya kau pernah bilang kalau ayah tirimu punya seorang anak?” Jongdae meringis, “Apa dia saudara tirimu?”
Tangan Baekhyun yang terkepal mulai gemetar di samping tubuhnya.
“Tunggu, mana mungkin si idiot ini saudara tiri Baekhyun?” tawa lain pecah dan suara-suara lain pun ikut meramaikan suasana hingga Baekhyun dikelilingi cekikikan dan sorak sorai mencemooh. Amarah pun memuncak ke ubun-ubun kepala Baekhyun dan akhirnya meledak.
“Menjauh dariku!” Baekhyun meneriaki Chanyeol. “Aku muak denganmu yang sudah menghancurkan hidupku! Kuharap kau tak pernah dilahirkan dan kuharap kau meninggalkanku sendiri karena kau cuma seonggok sampah tak berguna yang tidak mampu melakukan apapun sendirian! Kau sangat tolol dan hanya itulah yang ada pada dirimu, karena itu menjauhlah dariku dan jangan pernah kembali lagi!” Ia meremas-remas kertas itu, melemparkannya ke tanah dan menginjak-injaknya tanpa ampun dengan sepatu sepak bolanya.
Ketika Chanyeol bergeming, Baekhyun mendorongnya kuat-kuat sehingga teman-temannya harus memegangi kedua sisinya untuk menahannya.
Keheningan pun menghantui mereka semua sampai akhirnya Baekhyun mendengar suara peluit yang ditiup sang pelatih. Teman-temannya pun berpencar satu per satu, menyisakannya berdiri berhadapan dengan Chanyeol.
“Aku tidak menginginkanmu dalam hidupku,” ucap Baekhyun menggelegak penuh amarah dengan nada bicara yang menusuk.
Perlahan-lahan, Chanyeol mundur beberapa langkah dan berbalik, kepalanya terkulai dan bahunya membungkuk lemas. Baekhyun melihat lengannya terangkat untuk mengusap kucuran air mata dari wajahnya, namun hanya itulah yang sempat ia lihat sebelum berbalik dan bergabung dengan rekan-rekannya.

Malam itu, Chanyeol tidak pulang ke rumah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 4"

Post a Comment