Baby's Breath Chapter 12
Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul .
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboyBaby's Breath [Indonesia] https://www.asianfanfics.com/story/view/390422/baby-s-breath-indonesian-indonesian-exo-translation-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
Baby's Breath [English/The Real] http://www.asianfanfics.com/story/view/378771/baby-s-breath-angst-romance-exo-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baby’s Breath
Baby’s Breath
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya.
Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi : Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baekhyun lega ini hari Sabtu, bukan Jumat.
Dia sudah akan menduga seluruh sekolah mengetahui insiden tersebut sekarang, yang berarti lebih banyak gosip seputar dirinya dan Chanyeol. Satu-satunya berita baik dari seluruh kekacauan yaitu bahwa turnamen kali ini akan diundur, sepertinya karena sekelompok pemain Jeon-Il terlibat dalam kasus dan dua pelari dari tim Hye-Seong sedang menjalani perawatan medis (bukan berarti turnamen itu menjadi prioritas di pikirannya saat ini).
Baekhyun berangkat ke rumah sakit lain kali ini (lebih seperti klinik daripada rumah sakit) dan mengobati kakinya ke sana, diperban dengan baik. Dokter memberitahu ia beruntung tidak ada satu pun tulangnya patah setelah mendapat pukulan dari samping ke ototnya yang harusnya pasti menyebabkan kerusakan fatal seumur hidup. Ada memar di sekujur lutut yang sangat sakit bila ditekan, tapi untunglah tulang-tulangnya utuh. Andaikata Chanyeol tidak menghalangi, dia akan kehilangan kakinya. Dia akan bergantung pada kruk atau kursi roda selamanya.
Andaikata Chanyeol tidak menyelamatkannya, Baekhyun pastilah sudah kehilangan harapannya menjadi pemain sepak bola, yang mana... tidak adil. Menurutnya, tidak adil dunia ini berfungsi sedemikian besar hanya untuk orang-orang yang tidak pantas mendapatkan keajaiban. Menurutnya, dia tidak berhak berlari-lari setelah semua yang Chanyeol korbankan untuknya, karena dia.
Keduanya mulai berbicara lagi saat ibu Baekhyun berangkat kerja setelah membawa Baekhyun ke klinik, meninggalkannya bersama Chanyeol di rumah. Mereka tidak bertukar sepatah kata pun semenjak insiden (yang menurut Baekhyun lebih nyaman disebutkecelakaan) sehingga ketegangan jelas masih mengambang di udara saat Baekhyun masuk ke kamar Chanyeol lebh dulu.
Dia tidak ingat berapa kali dia menjejakkan kakinya di kamar Chanyeol selain tadi malam. Sebelum Chanyeol pindah ke sana, kamar ini biasanya dipakai sebagai gudang, jadi masih ada banyak kotak dan benda-benda lain dalam bungkus di depan dinding tipis. Tidak ada kasur, meja, ataupun cukup ruang untuk berjalan; hanya Chanyeol yang berguling dari selimut ke lantai yang dingin. Hujan deras bulan lalu membuat lantai rumahnya lembab. Baekhyun dapat mencium bau lumut juga.
Akan tetapi, meskipun buruk keadaan tempat tinggal yang harus Chanyeol pahami, dia masih sempat membuat kamar kotornya terasa lebih baik. Beberapa kotak kardus dibalik menjadi meja belajar Chanyeol, dan dia punya beberapa lembar koran diselipkan di bawah selimut supaya tidak basah. Chanyeolsedang duduk di “meja belajar”-nya dan Baekhyun dudukdi sebelahnya, memberi sedikit jarak antara mereka.
“Apa kaki Baekhyun tidak apa-apa?” Chanyeol bertanya duluan, Baekhyun tidak menduganya (tapi ia lega).
Dari semua hal yang bisa Chanyeol tanyakan atau katakana, dia telah memilik untuk mengkhawatirkan Baekhyun lebih dulu.
Dia mengangguk, mengangkat kaki berbalut perbannya lurus supaya tidak ada tekanan atau ketegangan di persendiannya. “Tidak apa. Dokter bilang aku akan sembuh total dalam seminggu,” katanya sesantai mungkin. “Terima kasih. Kau pemberani.”
Chanyeol tersenyum malu, mengangguk-anggukkan kepalanya setelah beberapa saat jeda. “Baekhyun... akan melakukan hal yang sama untukku...,” ia melipat ujung halaman buku yang sedang ditulisinya barisan kalimat, menekuknya karena gugup, “karena Baekhyun saudaraku...” Dia tersenyum lagi, seolah-seolah apa yang ada di pikirannya cukup mengharukan untuk menciptakan tawa di balik suramnya suasana.
Baekhyun mesti mempertanyakan kata hatinya di dalam. Apa ia benar akan melakukan hal yang sama untuk Chanyeol? Terlalu dini untuk mengatakannya, atau mungkin terlalu lama untuk mengakuinya. Jawabannya sudah tidak penting lagi.
Yang paling membuatnya sedih adalah bahwa Chanyeol tidak mengerti ia akan dibawa pergi dalam waktu seminggu. Chanyeol mengingatkan Baekhyun pada anjing tua yang tidak sadar akan disuntik mati sampai akhir hidupnya. Begitu ia kembali ke tanah, ulu hatinya terasa seperti diremas oleh tangan yang tidak terlihat.
Ia tak dapat berhenti menyalahkan dirinya; ia tak yakin bagaimana cara memberi tahu Chanyeol bahwa mereka tidak akan bertemu satu sama lain untuk waktu yang sangat lama, sama seperti halnya mereka tidak sanggup memberi tahu Chanyeol bahwa ayahnya telah berpulang. Menurut pengertian Chanyeol, ayahnya sedang berada dalam perjalanan bisnis yang panjang, mengabaikan fakta bahwa pria tersebut telah menjadi pengangguran untuk beberapa waktu, lalu...
Meninggal.
Ia mendesah, kemudian mengintip dari balik lengan Chanyeol ke arah meja belajar sementaranya. Tulisan tangannya sudah lebih rapi berkat banyak latihan, namun beberapa kalimat masih tidak masuk akal atau spasinya salah. Ia menunjuk ke sebuah kata. “Sepak bola dieja dengan huruf bawah ‘gi-eok’ di bawah huruf vokal. Chook-gu,” ia membacanya perlahan, membaca seluruh kalimat perlahan. “Baekhyun suka... sepak bola...” Jantungnya berdebar lagi.
“Chanyeol, kau harus menunjukkan pada mereka bahwa kau pintar... Aku tahu kau pintar. Mungkin mereka akan mengubah pendiriannya kalau kau menunjukkan mereka kau bisa membaca dan menulis seperti yang lainnya.”
“Seperti... yang lainnya?” Chanyeol meremas pensil yang ia genggam. Ia menurunkan pandangannya kembali ke kertas bergaris. Ada rasa sakit dan terluka yang tak terbayangkan di matanya.
“Maksudku...” Baekhyun mendesah, “Maksudku bukan begitu, Chanyeol...”
“Kalau begitu apa maksudmu?” Nada suara Chanyeol rendah dan semakin turun, seperti kehabisan tenaga. “Apa maksudmu?”
“Maksudku... aku mempercayaimu.”
Ia tidak sadar hari mulai larut sampai dilihatnya jam dinding di kamar Chanyeol. Hampir jam lima sore. Baekhyun tidak akan benar-benar memperhatikan waktu kalau ia tidak mendengar bel pintu, yang mana aneh karena mereka hampir tidak pernah kedatangan tamu selain teman-teman setim Baekhyun, itu pun sangat jarang. Baekhyun adalah tipe orang yang membenci kunjungan tak terduga.
“Siapa di sana?” tanyanya, lebih seperti mengelak daripada mendengar jawaban. Ia menduga pengirim surat, salesman, atau mungkin penagih utang, tapi ia tidak pernah menduga akan menemukan Luhan memandanginya saat ia membuka pintu depan. Baekhyun bersumpah jantungnya hampir copot lewat kerongkongan saking kagetnya, dan kakinya yang sakit terasa seperti agar-agar lunak saat kekagetannya surut. Apa yang Luhan lakukan di depan rumahnya?
“Apa Chanyeol di rumah?” Luhan bertanya tanpa basa-basi.
Baekhyun menggaruk tengkuknya. “Err, ya, ada,” jawabnya. “Bagaimana kau...”
“Sehun.”
“Oh.” Sehun brengsek, memberikan alamatnya cuma-cuma pada orang asing!
“Aku datang kemari untuk mengajari Chanyeol, kalau kau bertanya-tanya.” Pemuda Cina bermata kelinci itu berkata tanpa ragu atau tersendat dalam kalimatnya. Tidak heran Luhan dicalonkan menjadi ketua kelas 3-3 selama tiga tahun berturut-turut. Masih mencengangkan Baekhyun mengetahui Luhan lebih fasih berbicara dalam bahasa ibunya daripada dirinya. “Aku mengkhawatirkannya saat mendengar kabar itu,” ia berkata dengan tenang, menaikkan alisnya dengan sengaja yang membuat Baekhyun merasa tertohok seperti anjing buangan, “boleh aku bicara dengannya?”
“Ya, kakiku baik-baik saja, terima kasih atas perhatianmu.” Baekhyun mengatakannya dengan sinis sambil memberi Luhan jalan.
“Aku tidak pernah bertanya tentang kakimu.”
Anehnya, saat Luhan dan Chanyeol bertemu, Baekhyun merasakan kecemburuan yang aneh. Chanyeol terlihat lebih senang sekarang begitu Luhan duduk di sampingnya, namun ia berupaya untuk tidak mempermasalahkannya. Tidak benar merasakan hal remeh seperti cemburu di saat-saat seperti ini, meskipun ia benar-benar bingung kenapa Luhan yang menjadi guru privat Chanyeol, dan mungkin sedikit kecewa karena Chanyeol tidak memberitahunya tentang hal ini.
“Pelatih bilang dia mengeluarkanmu dari tim kalau dia tidak menemukan pengganti,” kata Jongin di sela-sela mengunyah.
Baekhyun memandangi temannya menghabiskan semangkuk penuh ramen seafood, tidak menyentuh mangkuknya sendiri. Cara temannya menghisap kerang dan menguliti udang dengan giginya cukup menghibur untuk dilihat. Ia merasa jauh lebih nyaman hanya dengan bicara pada Jongin di warung kecil dengan meja dan kursi plastik di luar, tempat makan biasa bagi mereka. Baekhyun merasa tenang mengetahui Chanyeol aman berada bersama Luhan, meskipun kekhawatirannya tidak pernah berpaling meskipun ia sedang bersama Jongin.
Ia mengaduk ramennya dengan bosan dengan sumpit, hanya mengambil kaki gurita untuk dikunyah. “Biarkan saja,” katanya.
Jongin hampir tersedak dengan minya. “Apa?” tanyanya tidak percaya, “Aiyaya! Baekhyun, apa maksudmu biarkan saja? Dokter bilang kakimu akan sembuh dalam beberapa hari, kan? Kalau turnamennya ditunda sampai minggu depan, kau masih bisa berlatih dengan kami!”
“Chanyeol akan dibawa.”
Juntaian mi jatuh dari bibir plum Jongin. “Dibawa ke mana?”
“Ke rumah sakit jiwa, karena polisi mengira ialah yang harus ditahan di balik jeruji.”
“Jadi kabar itu benar bahwa Park Chanyeol memukul kepala orang itu dengan batu bata dan menghancurkan tengkoraknya sampai otaknya tidak bisa dikembalikan lagi?”
Baekhyun memelototinya.
“Maksudku,” Jongin mengedikkan bahu, “jadi benar bahwa... Chanyeol memukulnya di kepala dengan bata, ya?” Pemuda dengan kulit terbakar matahari itu duduk diam beberapa saat, dan untuk pertama kalinya, ia mendengar permintaan maaf dari Jongin. Seumur-umur, Baekhyun hanya pernah mendengarnya permintaan maaf dari Jongin sebanyak tiga kali, termasuk kali ini. Lebih tepatnya, tiga kali Jongin pernah berpikir sebelum bicara. “Yah, Baekachu, kita harus menemukan pengganti secepatnya atau kita akan kalah mudah,” Jongin berkata, “ini serius.”
“Sejak kapan kau pernah serius tentang apa pun?”
“Diam.”
Dan beginilah, satu hari tak berkesan berlalu, dan mereka selangkah lebih dekat menuju perpisahan.
0 Response to "Baby's Breath Chapter 12 "
Post a Comment