Baby's Breath Chapter 13

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari Minggu.
Baekhyun bukanlah tipe orang yang suka melingkari kalender, namun kali ini, rupanya ia sedang mengecek kalender kecil penuh debu di samping tempat tidurnya tiap pagi, menyilang angka-angka tebal yang tertera dengan pulpen merah. Benar-benar keterlaluan kegiatannya menghitung hari, namun hanya itulah yang mampu menolongnya, bisa dibilang dalam rangka menyiapkan diri untuk saat-saat terakhir.

Ia berguling ke luar tempat tidur mendengar bel rumahnya berbunyi berkali-kali, rambutnya masih berantakan dan matanya masih mengantuk. Ia bahkan tidak bisa membayangkan orang waras mana yang mau membangunkannya dari “tidur anggunnya” di pagi buta, meski ada satu wajah dan nama yang muncul saat ia mendengar suara.
“Baekkolo! BABY, COME BAEK! Pai apelku yang baru matang!”
Jongin,” desis Baekhyun saat membuka pintu depan lebar-lebar, dan menemukan seorang laki-laki dengan cengiran padanya, beserta beberapa orang di belakangnya. Sebagian besar merupakan rekan satu  tim, beberapa lagi wajah-wajah kenal-tapi-tidak-begitu-kenal yang mungkin ia temui sekali-dua kali.
“Mau datang nonton? Kupikir kau mungkin ingin latihan sedikti; tambah lagi, kita dapat hot dog setelah pertandingan, tim yang kalah bayar.” Jongin menyeringai, menggendong bola di antara lengan dan paha. “Apa kakimu sudah baikan?”
Baekhyun melirik ke bawah, ke kakinya yang masih dibalut perban dan ototnya yang dibebat untuk mengembalikannya ke posisi semula, ia harus bersandar ke pagar untuk menopang tubuhnya. Ia menggoyangkan kaki bagian lutut-ke-bawah pelan untuk menunjukkan bahwa cederanya perlahan-lahan pulih. “Masih agak sakit, tapi tidak ada patah tulang atau apa pun,” katanya, sambil sekilas melirik ke belakang, ke jendela yang terbuka. Kamar Chanyeol paling dekat dengan pintu depan, alasan mengapa kamarnya merupakan ruangan terdingin, tapi dari pagar ia dapat melihat Chanyeol sudah bangun dan belajar, meski Hari Minggu. “Kau keberatan kalau Chanyeol ikut?”
Anak-anak lain mulai berkasak-kusuk di belakang Jongin.
“Si dungu? Dia akan ikut bersama kita?
“Orang-orang akan betul-betul mengira dia salah satu dari kita.”
“Bagaimana kalau dia memukul kita dengan batu?”
“Hei, hei, hei,” Jongin mendiamkan mereka yang mulai ramai tertawa. “Chanyeol ada di pihak kita. Jangan lupa dialah yang menolong Baekgu ini dari baku hantam, benar?” Saat ia berpaling ke Baekhyun, ia mengedipkan sebelah matanya. “Ayo main.”


Baekhyun dan Chanyeol duduk di bawah teduhnya bayangan pepohonan selagi menonton kedua tim bertanding. Chanyeol begitu serius menonton bola sepak yang dioper dari ujung lapangan ke ujung yang lain sampai kepalanya ikut-ikutan bergerak dari sisi ke sisi, seperti kucing mengikuti sinar laser. Ia tersenyum dan bertepuk tangan tiap kali salah satu tim mencetak gol, melompat kaget sambil menutup telinga saat wasit meniup peluit terlalu keras, lalu sesekali menoleh ke arah Baekhyun dengan cengiran bodoh di wajahnya.
“Apa ini menyenangkan?” tanya Baekhyun padanya, tidak percaya. Dia lebih suka menjadi pemain, bukannya penonton di samping lapangan. Ini membosankan. Ia menopang tangan di lututnya yang sehat, dan menopang wajah di tangan itu, dan dengan malas mencabuti satu per satu rumput di tanah. Teman-temannya tampak sangat menikmati waktunya, sementara ia merindukan berlari bersama mereka.
Chanyeol mengangguk, rambutnya yang sudah kepanjangan ikut bergoyang. Di bawah sinar matahari, Baekhyun baru menyadari bahwa warna rambut Chanyeol itu coklat, bukan hitam. Kalau ia harus mendeskripsikannya, warna itu tampak coklat kemerahan, yang mana aneh untuk seseorang seperti Chanyeol dengan latar belakang etnis seperti itu. Ia menurunkan pandangannya lagi saat merasa agak malu dan kikuk karena sudah memikirkan warna asli rambut Chanyeol. Ia menyalahkan kebosanannya.
“Kenapa kau tidak main bersama mereka?”
Chanyeol menggeleng setelah memandangi lama anak-anak lain di tengah lapangan.
“Kenapa tidak?” tanya Baekhyun, mengambil sebatang ranting lemas dan memukul pelan sisi tubuh Chanyeol dengannya. “Sana pergi main dengan mereka. Aku akan menghajar mereka kalau berani menjahatimu.”
“Bukan itu...” Chanyeol diam sesaat. “Aku tidak ingin meninggalkan Baekhyun sendirian.”
Keduanya duduk dalam diam untuk beberapa lama sebelum Baekhyun akhirnya mengerti makna perkataan saudaranya, sekalipun demikian ketika ia akan menjawabnya, Chanyeol sudah menemukan hal lain untuk dikerjakan, merangkai bunga-bunga rumput dandelion bersama.
Baekhyun mendengus kesal, menyambar rangkaian bunga dandelion itu dan merusaknya. “Bodoh,” gumamnya sembari membaringkan kepala di kaki Chanyeol yang menyilang dan menatap kanopi dedaunan lebih lama. “Bagaimana kau akan bertahan tanpa aku kalau begitu? Bagaimana jika suatu hari nanti aku menghilang?” Ia berpura-pura marah, malah mungkin frustasi (meski bukan niat sebenarnya), memandang seperti di awang-awang pada daun-daun yang jatuh dengan gerakan mengayun yang anggun dari dahan.
“Chanyeol akan mencari Baekhyun kalau begitu.” Chanyeol menyelipkan setangkai bunga dandelion di telinga Baekhyun dan tertawa seolah tidak mengenal apa pun selain kebahagiaan.


Pada akhirnya, Senin pun datang.


Baekhyun mendapati dirinya terbawa arus rutinitas menyiapkan sarapan berupa, tentu  saja, daging kalengan dan beberapa menu lain yang lamat-lamat ia ingat dimasak dengan telur. Ibunya telah meninggalkan beberapa makanan tambahan di kulkas untuk dipanaskan di microwave, jadi ia mengeluarkannya dan menunggu Chanyeol selesai mengenakan seragam sekolah.
Saat ia mengangkat sendok dan menyendokkannya di sup rumput laut panas, secercah  gelombang kesepian menyerbunya. Tanpa Chanyeol, dengan siapa ia akan membagi dadar gulung terakhirnya? Siapa yang akan ia andalkan untuk mencerahkan Hari Senin dengan senyuman cerah? Sebelum ini, ia selalu iri pada Chanyeol karena sudah mengambil alih semua perhatian yang harusnya ia dapatkan, namun tanpanya, ia akan menjadi anak tunggal kembali.
“Baekhyun!” Chanyeo berteriak dari dalam kamar mandi. “Toiletnya jadi gila! Tolong!”
Ia sudah pasti akan merindukan keributan ini, dan bagaimana tiap paginya berubah menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Baekhyun berlari ke kamar mandi secepat mungkin. Seperti yang ia duga, toiletnya menyemprotkan air tepat ke arah Chanyeol, yang tergagap dan berusaha menutupi diri dengan tangannya.
“Aku sudah bilang untuk tidak menekan ini!” Ia mendesah selagi mematikan fungsi semprot toilet dan menutupnya. “Ini handuknya, sarapan di meja, jadi keringkan dulu dirimu sebelum kita bakal terlambat ke sekolah.”
Baekhyun menggeleng pelan dan mendesah.
Merawat Chanyeol bukan lagi sebuah beban melainkan kebiasaan.
Membaui tangannya untuk memastikan air toiletnya tidak berbau aneh, Baekhyun berjalan ke ruang tamu saat mendengar telepon rumah berbunyi. Ia menempelkannya ke pipi sambil menyambut telepon dengan letih. Ada jeda, lalu suara seorang wanita terdengar dari ujung.
“Nyonya Byun? Ini Lembaga Psikiatris Seoul. Apa Anda punya waktu untuk mendiskusikan rencana berikutnya untuk Park Chanyeol?”
...
“Nyonya Byun ?”
Baekhyun menutup teleponnya.


Di perjalanan menuju sekolah, Baekhyun tidak henti-hentinya memikirkan panggilan dari rumah sakit. Rasanya ia seperti lupa begitu saja tiap bermain dengan Chanyeol, berpikir hari-hari mereka akan bertahan selamanya. Pada saat mereka tiba di gerbang sekolah, ia berhenti dan mendorong saudaranya masuk. “Kau duluan saja, Chanyeol. Kurasa... aku melupakan peralatan sepak bolaku di gedung olahraga.”
Chanyeol berkedip. “Aku... ikut Baekhyun.”
Baekhyun menggeleng, mendorong dirinya berjinjit untuk menepuk tangannya di rambut coklat-kayu manis Chanyeol. Ia mengacaknya penuh kasih sayang. “Kau akan terlambat masuk kelas,” katanya, “belajarlah yang keras, Yeolkkong. Bersikaplah baik.”
Chanyeol mengangguk dengan senyum yang melelehkan hati siapa pun.
Setelah melihat Chanyeol menuju ke kelas, Baekhyun berputar ke arah sebaliknya.
Ia tidak ingin pergi ke sekolah hari itu. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 13"

Post a Comment