Baby's Breath Chapter 16

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Butuh waktu beberapa lama bagi Chanyeol untuk akhirnya menyadari apa yang hilang dari tempat itu, pot-pot tanah dan wangi-wangian bunga bakung dan mawar yang menyapanya. Percikan warna di lingkungan yang kelabu itu, hilang, tertutup papan tua dengan rantai-rantai bergelayut diterpa angin. Untuk beberapa saat lamanya Baekhyun melihat Chanyeol, dia pun mengatupkan bibir rapat dan memalingkan wajahnya.
Bibir Chanyeol bergerak sangat sedikit, seakan-akan untuk membaca tanda tak dikenal di kepalanya, lalu menerjemahkannya ke dalam suara. Butuh waktu baginya untuk membaca tinta merah “DIJUAL” menghiasi barikade tersebut, dan sedikit lebih lama lagi untuk mengerti artinya. Dia menoleh pada Baekhyun, bingung, diam-diam bertanya, memohon suatu jawaban.

“Chanyeol... Itu....” Dia mendesah, tidak sanggup menenangkan Chanyeol karena dia sendiri amat terkejut juga. Setelah neneknya berpulang, ibunya sudah memutuskan untuk menjaga tokonya meskipun keadaan finansial mereka sulit. Bahkan di saat mereka bergelimang utang, ibunya tidak pernah menjual toko bunga itu pada para tuan tanah yang tertarik karena hanya itulah satu-satunya pusaka yang mereka punya. Kenangan tentang tempat itu berharga bagi keluarga mereka. Berharga bagi Chanyeol.
Chanyeol menatap tanda itu lama sekali dan Baekhyun tak punya hati untuk menarik pemuda itu, sampai pemuda tinggi itu membungkuk untuk mengambili pecahan-pecahan pot yang berceceran di tanah. Sebagian besar bunga-bunganya dibuang ke tempat sampah, yang layu diinjak-injak di tanah untuk membusuk di sana secara alami.
“Hei, jangan ambili itu.” Baekhyun memperingati, khawatir Chanyeol akan melukai jarinya dengan serpihan-serpihan tajam gerabah dan keramik.
Ada pagar di samping toko bunga yang dulunya dipakai untuk menaruh tanah yang sudah didaur ulang untuk menanam di pot, dan itu bahkan dirusak. Pemandangan pagar putih yang dirusak tali-talinya adalah pemandangan yang mengerikan, tapi itu tidak menghentikan Chanyeol untuk melangkahi apa yang dulunya menjadi surganya untuk kemudian memunguti bunga-bunga yang rusak.
Baekhyun mengikutinya, sambil mengenyahkan lalat dan sarang laba-laba yang memenuhi tempat dengan tangan. Dia tahu dia punya alasan menghindari halaman belakang. “Chanyeol, sudah mulai gelap,” katanya, “kita harus pulang sebelum....” Ia kehabisan kata-kata saat halaman belakang memasuki pandangannya. Itu adalah sepetak tanah kecil berbentuk kotak terakhir kali ia melihatnya, namun sekarang, tanah itu diselimuti oleh sesuatu yang nampak seperti bulu, sekumpulan bunga Baby’s Breath. Petak itu terlihat bagai berselimutkan salju. Setiap semak-semaknya dipangkas dengan hati-hati dan dirangkai dengan sempurna. Baekhyun nyaris mendengar bunga-bunga itu terkikik-kikik saat ia melangkah ke kebun bersalju itu.
Dia tidak pernah melihat begitu banyak Baby’s Breath berkumpul di satu taman sebelumnya, terutama, sendiri tanpa mawar atau bunga-bunga lainnya di tengah.
Chanyeol tidak mempermasalahkan Baekhyun yang mengetahui tempat ajaibnya, ia berjongkok dan menggali tanah subur itu dengan tangan. Dengan hati-hati, ia meletakkan bunga layu yang dibawanya ke lubang dangkal, lalu menguburnya lagi.
Baekhyun hampir merasa seperti berada di acara pemakaman resmi karena seumur-umur ia tidak pernah melihat Chanyeol sangat serius sampai-sampai ia merasa berkewajiban menghormati prosesi penguburan dan berdiri di samping.
“Bunga... juga punya perasaan.” Chanyeol tersenyum lembut, berhenti sejenak dan membasahi bibir seolah sedang memikirkan perkataan selanjutnya. “Orang-orang mengira... begitu... karena mereka tidak mendengarkan.”
“Benarkah? Apa yang mereka katakan sekarang?” Bakhyun tertawa kecil, memutuskan untuk mengikuti begitu pemuda satunya memetik sebatang dari kumpulan Baby’s Breath putih yang masih muda dan menyelipkannya di telinga Baekhyun.
“Kau... sangat pintar, Baekhyun. Kau bisa melakukannya,” katanya, sekalipun malu-malu. “Itu... Itu yang mereka katakan.”


Selagi mereka berjalan pulang, ada sedikit jarak di antara mereka, bukan seperti yang mereka punya saat pulang dari pertandingan sepak bola. Agak canggung, tapi mungkin itu cuma perasaan Baekhyun saja karena Chanyeol sibuk teralihkan perhatiannya oleh bunga-bunga yang tumbuh di dinding bata dan anjing tetangga (Chanyeol akan menggonggong balik).
Matahari sudah tenggelam di bawah garis horizon ketika mereka sudah dekat dengan rumah mereka yang buruk, namun nyaman. Baekhyun berhenti di depan pagar saat dilihatnya lampu sudah menyala, yang berarti ibunya pulang lebih awal dari pekerjaannya di malam hari. Seseorang bersamanya, meski Baekhyun tidak dapat melihat siapa itu di balik tembok. Yang dia tahu adalah bahwa orang itu pria lewat suara yang ia dengar dari gerbang.
“Mereka harusnya pulang sebentar lagi. Kau lihat, Chanyeol itu anak yang sangat manis, dia tidak akan melukai siapa-siapa....” Baekhyun mendengar ibunya berkata pada orang asing itu.
“Ya, saya mengerti, Nyonya Byun, tapi begitu bermasalah, kita tidak punya pilihan. Dia wajib pergi dalam tiga hari. Salah seorang pegawai akan ke sini untuk menjemputnya di siang hari, jadi saya harap lembar data-datanya siap pada saat itu.”
Baekhyun meneguk ludah, menahan keinginan untuk mendobrak masuk dan menentang pria itu dengan cara apapun bila dibutuhkan. Pada kenyataannya, ia tahu ledakan amarah tidak akan memperbaiki apa-apa, khususnya bila menyangkut masalah berat seperti ini, saat “anak-anak” tidak punya suara. Ia membenci cara ibunya diperlakukan, ia tidak tahan cara orang ini membicarakan Chanyeol seperti anjing peliharaan yang bisa dipindah-pindah ke  suatu tempat seperti kargo.
“Ayo,” gumamnya pada Chanyeol, menarik pergelangan tangannya untuk menjauh dari pintu. Ia bahkan tidak berhenti untuk menaruh tas olahraganya di dalam atau melepas sepatu sepak bolanya karena ia terlalu dipenuhi kejengkelan dan kemarahan egoisnya sampai ia tidak bisa apa-apa selain berpikir seperti anak kecil lagi.
Chanyeol mengikutinya tanpa banyak kata, bahkan saat mereka berakhir berjalan berkilo-kilo meter jauhnya sampai melewati setiap pemberhentian bis dan stasiun kereta di dekat. Akhirnya, Baekhyun memutuskan untuk naik kereta bawah tanah dan mengantri di belakang pria berjas abu-abu tebal. Saat tiba giliran mereka membeli tiket, jendelanya ditutup.
“H-Hei! Permisi!” teriaknya, berusaha membuka  jendela kaca dengan tangannya. “Kami butuh dua tiket!”
“Sudah tutup.” Wanita di situ berkata.
“Kami membutuhkannya, tolong,” kata Baekhyun, membanting sejumlah uang yang mencukupi harga tiket. Untungnya, wanita itu menerima ongkosnya dan memberi mereka dua tiket sekali jalan.
“Ke mana... kita akan pergi?” Akhirnya Chanyeol bertanya saat mereka berdiri di depan terowongan rel kereta, bunyi raungan mesin kereta terus menggema di stasiun bawah tanah. Seumur hidupnya, ia tidak pernah naik kereta bawah tanah, sebab ayahnya selalu mendidiknya di rumah dan tidak pernah ada kesempatan untuk keluar sendirian. Ia akan tersesat gara-gara turun di stasiun yang salah, atau tidak turun sama sekali.
“Tidak apa-apa, kita sedang berwisata. Kau tidak pernah berwisata?” tanya Baekhyun sambil menaikkan alis. “Kau tahu, seperti memancing atau wisata keluarga ke gunung?”
Chanyeol menatapnya kosong.
Baekhyun menghela napas dan kembali menghadap depan saat kereta yang meluncur berhenti di depan mereka. Ia harus menarik Chanyeol masuk secepatnya untuk mencari tempat duduk yang enak, saat seluruh penghujung kereta nyaris kosong karena sudah larut. Ada beberapa anak muda yang mengangguk-angguk dengan headphone meraungkan musik keras-keras, seorang pria gelandangan berbaring di tiga kursi, dan seorang wanita tua yang menyortir barang belanjaannya di dekat pintu. Baekhyun menarik Chanyeol ke dua tempat duduk yang kosong dan menjatuhkan ranselnya ke lantai.
“Dulu ayahku selalu mengajariku bermain sepak bola.” Baekhyun akhirnya bicara setelah beberapa saat, sambil memajukan kakinya sedikit dan memijat memar yang kini berubah ungu samar-samar di sisi tempurung lututnya. “Beliau membelikanku sepatu sepak bola pertama dan berkata aku akan jadi sukses, mungkin sampai ke Piala Dunia kalau aku rajin berlatih. Bagaimana dengan ayahmu, Chanyeol? Apa kau ingat sesuatu tentangnya?”
Perlahan, Chanyeol menggeleng dan tersenyum bodoh.
“Bagaimana dengan ibumu?”
“Dia... Dia suka bunga Baby’s Breath.” Chanyeol langsung menjawabnya, “Karena... Karena itu membuatnya senang... dan itu membuat Chanyeol senang juga.”
“Aku rasa kau sangat merindukan ibumu, hm?”
Chanyeol mengangguk.


Setelah pemberhentian kesepuluh mereka lewati, kereta bawah tanah itu menderu berhenti dan pintunya terbuka terus supaya seluruh penumpang turun. Tak tahu di mana mereka kini, Baekhyun dan Chanyeol berjalan keluar lagi dan menemukan sebuah pondok tempat makan di sudut untuk membeli semangkuk ramen untuk dirinya dan segulung kimbap untuk Chanyeol. Makanan itu rasanya bagai madu setelah perjalanan panjang.
Setelah urusan makan terpenuhi, Baekhyun masih belum tahu di mana mereka sampai mereka menemukan papan petunjuk berisi jalur-jalur kereta bawah tanah dengan koordinasi warna untuk memudahkan pembaca. Mereka setidaknya satu jam jauhnya dari rumah, meski waktunya terasa jauh lebih lama. Ia tahu ia tidak merencanakan ini dengan matang.
Baekhyun melihat sekelompok tunawisma berjejer di pinggir dinding stasiun dan berpikir mereka tidak terlihat ramah sama sekali, jadi tidur di stasiun kereta itu tidak mungkin. Sebagian besar layanan transportasi tutup, kecuali taksi yang akan menghabiskan terlalu banyak uang dari yang dipegangnya.
Pilihan satu-satunya yang ia punya adalah mencari tempat spa murah terdekat yang buka dua puluh empat jam dengan diskon bagi pengunjung yang menginap. Itu adalah taruhan terdekat dan teraman yang bisa ia buat saat ini, jadi Baekhyun mengambilnya.
Untungnya, keduanya menemukan satu di dekat sana, lalu Baekhyun membayar uang terakhirya untuk dua set handuk dan baju. Mereka berdua pun mandi untuk membilas kotoran dan debu dari badan, dan kali ini Baekhyun memastikan ia menggosok tubuh Chanyeol dengan baik. Saat ia mengeramasi rambut saudaranya, ia merasakan bekas luka yang tebal di kulit kepalanya lagi, dan jari-jarinya memijatnya dengan lembut. Ia tidak membuat mata Chanyeol kena busa.


“Chanyeol, aku mau telur.”
“Namamu Chanyeol. Namaku Baekhyun,” gumam Baekhyun yang berbaring menyamping, menggunakan handuk yang digulung sebagai bantal. Lantai yang dipanaskan tempat mereka berbaring terasa hangat, dan ia merasa sangat segar setelah mandi dan mengenakan satu set pakaian bersih hingga kelelahan menyergap.
“Baekhyun,” bisik Chanyeol di belakangnya, namun ia diam saat tidak mendengar jawaban sama sekali. Setelah beberapa lama, Chanyeol pasti sudah tertidur juga, karena keduanya benar-benar tenang.
Kira-kira dua puluh menit berlalu, Baekhyun masih terjaga, tapi matanya terpejam. Lalu, ia merasakan tubuh hangat Chanyeol menekan punggungnya, dan ia menjadi kaku sedikit begitu sebuah lengan melingkari pinggangnya. Ia merasakan hembusan napas Chanyeol yang hangat menuruni tengkuknya. Ia tidak yakin bagaimana mendeskripsikan perasaan itu, tapi ia memutuskan bahwa mendeskripsikannya akan jadi lebih aneh dan akhirnya ia tertidur, karena, untuk pertama kalinya, ia merasa cukup aman untuk melepaskan, namun cukup egois untuk membiarkan. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 16"

Post a Comment