Baby's Breath Chapter 19

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Chanyeol diizinkan untuk libur sekolah sehari sebelum kepergiannya. Guru program-khususnya, yang biasanya murah hati dan ramah pada Chanyeol, memberinya sebuah memo pink kecil dan menepuk punggungnya, mengatakan bahwa masa depannya akan lebih cerah bila ia memilih jalan yang berbeda. Betapa ironis bahwa seorang instruktur dari semua orang yang ada berkata hal seperti itu pada anak yang suka belajar, pikir Baekhyun. Di mana lagi ia akan memiliki masa depan yang cerah, bila bukan di sekolah?

Baekhyun hanya melihat Chanyeol dua kali, di ruang kelas, kemudian di kelas khususnya. Ia harus berada kantor untuk menjelaskan mengapa ia tak hadir beberapa hari belakangan, bahkan kepala sekolah tidak terlalu senang mendengar penjelasan apa pun darinya. Ia menggigit lidah sebelum dapat berkata sesuatu yang juga dapat membahayakan pengusirannya, namun apa pedulinya sekarang? Sekolah adalah beban.
Ia terenyak di bangkunya, menatap keluar jendela di pelajaran Matematika, tidur di kelas Sejarah, kemudian permisi ke kamar mandi di kelas Seni dan Bahasa, hanya agar bisa menghabiskan satu setengah jam di luar kelas. Ketika sang guru meminta bertemu dengannya usai pelajaran, ia mengabaikan kejengkelan sang guru dengan candaan. “Aku sedang diare.”
Baekhyun agaknya melamun sepanjang waktu hingga bel terakhir berbunyi. Ia tengah dalam perjalanan menuju lapangan untuk latihan terakhir sebelum turnamen. Setidaknya kakinya telah pulih dan yang tersisa hanyalah memar samar di lututnya, tempat bekas bilur sebelumnya. Sedikit cairan antibiotik cukup untuk mengurangi nyeri di sendinya, jadi ia berlari dengan mudah di beberapa latihan pertandingan awal hingga kakinya mulai berdenyut kembali.
Ia mengabaikannya, meskipun jelas terlihat bahwa ia terpincang di tiap langkahnya saat pelatih memanggil para pemain untuk berkumpul di tengah lapangan.
“Di mana Sehun?” Sang pelatih bertanya.
Jongin mengelap rambutnya yang basah dan lengket oleh keringat dengan handuk dan menunjuk ke balik bahunya dengan ibu jari sambil tersenyum. “Dia datang terlambat. Ia harus menjadi sukarelawan di kegiatan donor darah hari ini.”
“Apa kau bilang? Ia mendonorkan darahnya sehari sebelum pertandingan? Argh!”
Baekhyun berlari kecil ke arah Jongin setelah pelatih selesai membahas taktik untuk besok pada mereka untuk yang keseratus kali. “Donor darah? Sejak kapan ia bergabung dengan pelayanan sosial? Bahkan Sehun mungkin tak tahu apa itu arti pelayanan sosial.” Ia menyindir, meskipun kata-katanya tak jauh dari fakta.
“Oi, kau benar-benar tak mendengarkan gosip belakangan ini?” Jongin tertawa kecil. “Sehun meminta Luhan kencan dengannya lagi, dan dia bilang iya. Sekarang Sehun berusaha membuatnya terkesan dengan mengikuti kegiatan sukarela seperti ini. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan, tapi Sehun tidak mau mendengarkanku, aku pikir ia... apa itu namanya, cinta gila?”
Baekhyun hampir tersedak ludahnya sendiri. Setelah menangis dan tersedu di meja kafetaria hari itu, Sehun mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaan kedua kalinya? Sekarang, ia kira pepatah “Roma tak dibangun dalam semalam” terdengar sedikit masuk akal. “Kupikir itu dinamakan kalah telak.” Baekhyun mendengus, dan keduanya tertawa sebentar sementara latihan dilanjutkan.


Ketika para siswa selesai berlatih sepak bola, Baekhyun melihat Chanyeol sedang duduk di tempat biasa, di bangku panjang, sabar menunggunya mengatakan “ayo pulang” lebih dulu. Baekhyun telah memberinya beberapa pekerjaan selagi duduk, meskipun tugas itu cukup mudah, hanya menyuruh Chanyeol menulis namanya sendiri sebanyak seratus kali. Berulang-ulang dan membosankan, namun berlatih membuatnya lebih baik.
Di perjalanan keluar, ia melihat Yifan menarik sebuah tas berat keluar dari salah satu loker panjang.
“Apa kau juga ambil bagian di klub olahraga?” Baekhyun bertanya penasaran, memutuskan bahwa tidak ada ruginya memperlakukannya sebagai seorang teman di sekolah, sebab hal itu tidak membuat identitas rahasianya terbeber.
Yifan menatapnya, kemudian ke ranselnya dengan senyum kecut. “Oh, tidak, sekolah mengizinkanku meminjam salah satu dari loker besar ini karena perlengkapan polisiku tidak muat di loker kecil. Aku tak punya cukup waktu untuk tiba dan mengganti seragamku sebelum jam kerjaku mulai, jadi aku hemat sedikit waktu dengan cara ini,” ujarnya. “Mana Si Wajan Besar?”
“Wajan Besar?” Baekhyun menurunkan alisnya, menoleh ke samping, tempat di mana Chanyeol seharusnya berada. “Oh... belum bertemu dengannya.”
“Ah.”
Jeda.
Baekhyun menaikkan pandangannya sedikit, kemudian ke sekeliling, untuk memperhatikan lingkungan sekitar mereka. Ia berharap Yifan tidak sedang terburu-buru pergi. “Dengar, saudaraku, yah, ia akan dibawa pergi besok. Aku tak tahu bila kau sudah mendengar berita terbaru, tapi ia melukai seorang siswa dari Jeon-Il cukup parah dan....”
“Dan kau mau aku bicara dengan “Tuan Besar” di kepolisian?”
Ia mengangguk.
“Aku ingin sekali membantumu, Wajan Kecil, namun saat sebuah kasus ditutup, kasus itu ditutup. Meskipun...,” Yifan terdiam, “aku bisa membuatkan testimoni untukmu. Wajan Besar telah membantumu dulu dan kami pun menangkap banyak penjahat. TIndakan heroik seperti itu harusnya diberi penghargaan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi itu jelas lebih baik daripada tidak sama sekali, kan?”
“Sungguh? Kau... kau akan melakukannya?”
Yifan mengangkat jempolnya. “Aku akan mengirim faks pada temanku yang bekerja di kantor kepolisian sekitar sini. Namanya Kyungsoo, dan bila ia menerimanya, ia akan memberitahumu apa yang terjadi sebelum...,” ia memeriksa jam tangannya, “jam enam sore.”
“Terima kasih....” Baekhyun berucap, rasa kaget menumpuk di tenggorokannya, “Terima kasih....”
“Sama-sama, itulah gunanya teman.” Yifan meninggalkan Baekhyun di ruang loker dengan tepukan lembut di bahunya.


Merasa jauh lebih baik daripada tadi, Baekhyun berjalan berdampingan dengan Chanyeol ke rumah. Ia sadar bahwa apabila semua tak berjalan lancar, ini akan menjadi perjalanan bersama-dari-sekolah yang terakhir. Ini tidak dapat disia-siakan, jadi ia membeli es krim di toko terdekat dengan sisa uang sakunya dan membelikan es krim favorit Chanyeol. Itu semacam ritual mereka yang akan sangat ia rindukan.
“Hei,” kata Baekhyun setelah mereka melewati beberapa blok, tanpa mengatakan apa pun satu sama lain. “Maafkan aku soal sekolah. Kau... tak bisa pergi, dan lain-lain. Mereka seharusnya membiarkanmu tetap di sini setelah aku mengatakan hal itu pada semua orang....” Ia mungkin menggumamkan beberapa makian dalam satu napas, namun siapa yang tidak dalam situasi tak adil seperti ini?
Chanyeol menatap saudaranya dan menggeleng. “Tidak apa-apa,” katanya.
“Tapi itu bukan tidak apa-apa, kau suka sekolah... Haah, kau mungkin menyukai sekolah lebih daripada semua orang di tempat itu dan kau ingin menjadi lebih pintar... dan kau ingin belajar. Itu... menggangguku karena mereka tidak membiarkanmu tetap bersekolah.” Baekhyun berucap, menendang kerikil layaknya bola sepak, mengopernya di antara kedua kakinya sesekali.
“Tak mengapa,” ulang Chanyeol. “Chanyeol tidak pergi ke sekolah untuk belajar... tidak begitu....”
Baekhyun menjilat es krimnya.
“Chanyeol... ingin pergi sekolah karena Baekhyun....” Senyum lebar merekah di antara kedua pipinya, “Karena pergi sekolah bersama Baekhyun membuat Chanyeol bahagia, karena Chanyeol... bukan, aku... ingin menjadi teman Baekhyun.” Chanyeol menunduk selagi mereka berjalan, rambut ikalnya menutupi sebagian wajahnya. “Aku sangat senang... memakai seragam ini... dan makan siang bersama Baekhyun... dan menonton Baekhyun bermain sepak bola! Aku suka sekolah karena Baekhyun.”
Saat Baekhyun mendengar sepatah demi sepatah kata-kata Chanyeol yang tulus, hatinya terasa sesak di dada. Matanya mungkin sudah berkaca-kaca oleh air mata, yang mungkin sudah jatuh dari pelupuk matanya, dan ia mungkin telah menghapusnya dengan lengan kaos.
Chanyeol tidak menyadari itu.
Baekhyun tertawa pelan. “Hei, Chanyeol, kita sudah menjadi teman. Kita adalah sahabat,” ia mengangguk pasti, “kita akan bertemu lagi nanti saat kau menjadi guru terpandai di dunia dan aku pemain sepak bola terbaik di dunia, betul?”
Chanyeol mengangguk dengan senyum cerah, yang meremukkan hati Baekhyun.


Kyungsoo menelepon pukul enam lewat empat-puluh-dua menit dan tiga belas detik, bukan berarti Baekhyun menunggu dan terus menghitung waktu sih. Ia tengah makan malam dengan Chanyeol (biasa, dengan daging kalengan, kecambah, dan telur), ketika panggilan yang terlambat itu datang dan sebuah suara khas menjawab ‘halo’-nya dari seberang telepon.
Percakapan tak berlangsung lama, karena sebagian besar dihabiskan dengan Kyungsoo yang meminta maaf karena tak bisa berbuat banyak untuk kasus Chanyeol karena laporannya sudah dibawa ke rumah sakit. Satu-satunya berita baik adalah masa percobaan; jika Chanyeol berlaku baik selama tiga tahun ke depan, maka ia akan diizinkan pulang ke rumah. Bukan berita terbaik, tapi itu cukup. Baekhyun mengucapkan terima kasih pada Kyungsoo dan menutup telepon.
Anehnya, hatinya tidak mencelos karena sudah lama jatuh ke palung di dalamnya, saat pertama kali ia tahu alasan Chanyeol menjadi seperti sekarang adalah karena ulahnya. Tak ada yang bisa menghapus trauma itu.
Di meja makan, ia berusaha membuat suasana senyaman mungkin, meskipun nasinya tak dikunyah dengan benar dan ia merasa ingin muntah setelah ia makan daging kalengannya. Ia menaruh lebih banyak kecambah di atas nasi Chanyeol dan memperhatikan bagaimana saudaranya menghabiskan itu semua layaknya hewan kelaparan. Baekhyun tidak bisa berhenti memperhatikannya.
“Ada nasi di sini,” Baekhyun tertawa kecil, menunjuk bibirnya sendiri untuk menunjukkan Chanyeol di mana nasi itu tertinggal di wajahnya.
Chanyeol mengelap sisi yang salah.
Baekhyun menggeleng dan meraihnya untuk membersihkan nasi itu dengan ibu jarinya, kemudian memakannya. “Berhenti makan terlalu cepat, tidakkah kau merasa sedih sedikit pun?”
Chanyeol hanya menelengkan kepala sedikit, Baekhyun cepat-cepat mengabaikannya.


Usai makan malam dan Ibu Baekhyun pulang dengan setumpuk kertas kerja, ia menyuruh Baekhyun membantu mengemasi barang-barang Chanyeol. Menyakitkan bagaimana setiap barang kecil milik Chanyeol perlahan mulai dikemas ke dalam koper hingga kamar itu kembali kosong, dindingnya tak lagi dipajangi foto keluarga dan lantainya pun bersih.
Chanyeol nampaknya tahu apa yang sedang terjadi sementara ia duduk melipat pakaian, meletakkannya dalam koper yang ia bawa saat pertama kali pindah. Baekhyun menolak membantu, ia hampir hilang kendali melihat Chanyeol melipat seragam sekolahnya.
Setelah beberapa saat, saat semua barang-barang Chanyeol telah disusun di samping dinding dan pemuda bersurai ikal itu tengkurap dengan lampu-tidur redup menerangi buku catatannya yang hampir penuh, Baekhyun akhirnya masuk ke kamar Chanyeol. Ruangan itu dingin dan kosong, bila saja tak ada kaleng-kaleng Baby’s Breath di bingkai jendela.
Ia duduk di sebelah Chanyeol dan menarik keluar sesuatu.
“Oh tidak! Rita Repulsa menyerang kota lagi dengan prajurit andalannya, Goldar!” Ia menjerit dengan suara heboh yang mampu ia buat, meletakkan Power Ranger hitamnya di atas buku catatan Chanyeol. Ia menirukan pekik korban perempuan yang tak berdaya. “Ahh! Tolong! Ranger merah, Ranger hitam, tolong!”
Baekhyun tersenyum lebar saat ia melihat Chanyeol tersenyum, karena Ranger hitam ini bukanlah versi Dino Thunder, melainkan versi lama yang ia simpan bertahun-tahun. Ia menghilangkan Dino Thunder itu setahun yang lalu, namun tak terlalu bergantung padanya seperti figurin pertama miliknya. “Mana Ranger merah? Aku tak bisa melakukan ini tanpanya!” Ia gusar.
Chanyeol beranjak dari lantai dan mengorek ranselnya, menarik keluar Ranger merahnya, yang telah tergores dan terkelupas.
“Rita Repulsa melarikan diri ke gundukan kotak, kita tak bisa membiarkannya!” Baekhyun berteriak.
“Aku akan pakai Blade Blaster!” Chanyeol memekik.
“Oh tidak, ada longsor! Aku terjebak, Chanyeol!” Ia tertawa, menutupi figurinnya dengan buku catatan.
Keduanya mengenang petualangan masa kecil mereka selama satu jam sebelum cerita mereka ditutup, dan Rita Repulsa dijebloskan ke penjara yang sesungguhnya adalah koper Chanyeol. Baekhyun melihat sekilas wajah Chanyeol, dan ia bersumpah ia tidak pernah melihatnya sebahagia ini. Terkikik pelan, ia memberikan Ranger hitamnya pada Chanyeol. “Ini, kau bisa memilikinya. Ini mainan favoritku, tapi kurasa kau lebih bisa merawatnya, jadi saat kita bertemu lagi, kita bisa mengalahkan Goldar yang melarikan diri, benar kan?” Ia tersenyum.
Chanyeol mengambil mainan itu dengan mata berbinar lebar, memegangnya dengan hati-hati. Ia mendongak pada Baekhyun.
Dalam sekejap, Baekhyun merasakan lengan Chanyeol di sekelilingnya. Ia merengkuhnya erat, dan keduanya tidak mengatakan apa pun selama satu atau dua menit. Mereka hanya saling merengkuh satu sama lain, merasakan kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain, dan mengambil sedikit waktu untuk bersyukur pada Tuhan atas apa yang mereka miliki, bukan apa yang tak mereka punya. Chanyeol sudah sering memeluknya sebelum ini, namun kapan ia pernah memeluk Chanyeol seperti ini? Kapan jemarinya pernah menyusup pada helai rambut Chanyeol, atau merasakan air mata Chanyeol membasahi kaosnya? Kapan ia pernah berharap ia mampu merengkuh seseorang begitu erat agar mereka tak akan pernah pergi?
Mereka mengobrol tentang banyak hal di malam yang makin larut. Mereka tertawa karena lelucon bodoh. Mereka berbagi cerita. Baekhyun bercerita tentang apa yang biasa mereka lakukan. Chanyeol bercerita tentang apa yang ia ingat. Kemudian, di tengah lelucon dangkal “tok-tok”-nya (Chanyeol suka sekali berkata ‘siapa di sana’ setelah Baekhyun berkata ‘tok-tok’, bahkan meskipun itu tidak lucu) dan cerita seram, Chanyeol pun terlelap.
Baekhyun menyusul, segera setelah mengingat bahwa
Chanyeol alergi pada buah persik.
Chanyeol suka rollercoaster.
Chanyeol suka menjerit setelah minum kopi.
Chanyeol sebenarnya kidal, tapi ia terus membuatnya menulis dengan tangan kanan.
Chanyeol menganggap unicorn itu nyata.
Chanyeol...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 19"

Post a Comment