Baby's Breath Chapter 27

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Yang Mulia, saya izin keluar selama sepuluh menit,” kata Taeyeon, pandangannya tertuju pada pintu di seberang sana.
Para juri merasa enggan untuk memberikan izin, tetapi ketika dia berkeras bahwa itu penting, ia memutuskan untuk memberinya waktu lima menit. Taeyeon pergi melesat keluar dari ruang sidang begitu cepat sampai hampir membuatnya jatuh ke karpet yang kasar. Koridornya kosong dan beberapa ruangan yang dia lewati juga kosong. Tetapi, dia melihat seseorang di kursi roda sedang memandang keluar jendela, dikelilingi oleh kesunyian yang pekat.
Dia menghampiri Baekhyun tanpa suara meskipun sepatu hak tingginya menghasilkan bunyi gemertak pelan ketika bersentuhan dengan bagian lantai tanpa karpet. Mungkin saja dia telah menarik perhatiannya karena dia melirik ke belakang dan terlihat jengkel karena dia tidak sendirian.
“Tunggu,” dia berkata saat ia baru saja akan pergi menjauh, “Aku hanya ingin bicara padamu.”
“Aku tidak ingin membicarakan tentang apapun.” dia berkata dengan sengit.
Taeyeon menyelipkan beberapa helai rambut cokelatnya ke belakang telinga dan menaruh tangannya di salah satu pegangan kursi roda, mendesaknya untuk tinggal. Dia harus. Setelah apa yang telah didengarnya dari Chanyeol, dia tidak yakin bagaimana hal ini akan berhasil, bagaimana Chanyeol seharusnya berkumpul dengan keluarganya, saat seseorang yang sangat ia sayangi bahkan berpaling darinya.
“Aku tahu kau kecewa. Aku tahu, pasti sulit untuk melewati semua hal yang kau lewati, Baekhyun.” katanya, berharap Baekhyun tidak keberatan ia memanggil namanya secara informal. “Tetapi Chanyeol membutuhkanmu sekarang.”
“Dia tidak membutuhkanku.”
Taeyeon mengatupkan bibirnya rapat, tidak tahu bagaimana harus merespon saat dia melihat bayangan Baekhyun di jendela di seberangnya, kedua pipinya lembab oleh air mata yang sekuat tenaga ia coba sembunyikan. Dia tidak yakin mengapa dia bersikap seperti itu atau apa yang membuatnya berpikiran bahwa dia tidak dibutuhkan, bahwa Chanyeol—dari sekian banyak orang—tidak membutuhkannya,  tetapi dia tahu bahwa hal ini bukanlah suatu perjuangan yang dapat dia menangkan. “Chanyeol telah berjuang dengan sesuatu yang sulit baginya selama hidupnya. Bukankah sudah waktunya seseorang berada di sampingnya dan membantunya menang dalam pertarungan yang tak dapat ia menangkan? Terutama kau. Dia mencintaimu.”
“Bagaimana bisa?” tanyanya, sesenggukan, “Dia akan lebih baik tanpa aku. Aku orang yang membuatnya…”
Dia berhenti ketika ada seorang pria yang memanggil Taeyeon, lalu dia menyadari bahwa seseorang mungkin saja mengirimnya atau dia tidak mungkin datang kesana untuk membicarakan sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak mengerti. Dia hanya orang asing, bagaimana bisa dia tahu?
Baekhyun menggigiti bibir bawahnya dan memejamkan matanya, merasa malu dan kaku seperti ada beban yang berat menekan bahunya, ia ingin membakarnya atau melemparnya jauh semuanya sekaligus. Semakin lama dia terdiam, semakin terasa berat sampai dia merasa tenggelam ke dalam dasar rasa kasihan pada diri sendiri.
“Baekhyun, Chanyeol tidak bisa memenangkan ini tanpa dirimu.” Taeyeon berkata pelan dan meremas bahunya sebelum pergi meninggalkannya.

Saat Taeyeon pergi, Baekhyun merasa ada sebuah jangkar yang melilit hatinya dan menyeretnya ke dasar perutnya. Dia menghela napas perlahan dan mencoba membersihkan pikirannya, tapi bahkan air mata di pelupuk matanya terasa sangat berat.
Mungkin Taeyeon berpikir bahwa dia kecewa karena dia tidak lagi bisa berjalan, bahwa dia marah pada Chanyeol karena sudah mengacaukan masa depannya. Dia sangat kecewa karena hal itu, pasti, tetapi Baekhyun tidak pernah menyalahkan Chanyeol atas semua kesialan yang dialaminya. Sebaliknya, Chanyeol telah menyelamatkannya. Mereka bisa saja mati lemas dan terbakar hidup-hidup di dalam bangunan itu tetapi melalui niat yang tulus, Chanyeol berhasil membawa tubuhnya keluar dari rumah yang hancur itu dengan satu alasan.
Baekhyun harus memilih apa alasannya. Dia telah mengacaukan hidup Chanyeol dari awal dan apabila Chanyeol tidak pernah bertemu dengannya, dia mungkin tidak akan berada di dalam situasi seperti ini. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi jika mereka tidak pernah bertemu.
Tidak akan ada sesuatu yang terjadi.
Baekhyun tidak akan pernah bertemu Chanyeol. Dia tidak akan pernah tahu ada kehidupan di luar sana selain sepak bola. Dia tidak akan pernah tahu nama-nama bunga-bunga bodoh itu dan tidak akan merasa bersalah ketika dia baru saja memanggil mereka bodoh. Jadi, mungkin memang dia egois dan Baekhyun telah menemukan titik terang dari permasalahan tentang bertemu Chanyeol, mungkin, tapi dia lalu berpikir Chanyeol menghargai dirinya berada disana.
Chanyeol membutuhkannya.
Butuh beberapa waktu bagi Baekhyun untuk memutar kursi rodanya karena dia masih tidak tahu bagaimana membuat benda sialan itu bekerja, tetapi ketika dia sudah berbalik, dia mendorongnya menuju ke ruang sidang dan berdoa kepada Tuhan kalau dia belum terlambat. Saat dia berhasil melewati setengah koridor, kursi rodanya terjebak di perbatasan antar lantai dan karpet, membuatnya terjatuh dari kursi rodanya. Dia jatuh ke lantai dengan dentuman keras.
Rasa sakit di lututnya tidak tertahankan sampai tidak ada suara yang keluar untuk mengungkapkan panas yang bergelung di persendiannya. Baekhyun menggeliat di lantai dan memegang lututnya, air mata memenuhi pelupuknya karena lututnya terasa sangat sakit dan tidak ada orang di sekitar untuk menolongnya. Sepertinya usaha untuk meminta pertolongan sia-sia jadi dia mencoba berdiri, kekuatan di kakinya berkurang seiring dengan dorongan yang dia lakukan. Tidak ada gunanya.

“Tanpa Byun Baekhyun untuk bersaksi, kami tidak dapat menempatkan Park Chanyeol pada hak asuh Nyonya Byun. Kasus ini sangat mirip dengan pelaku kejahatan dan korban,” sang hakim berkata.
“Yang Mulia, kita tidak bisa membiarkan hal yang telah dilakukan rumah sakit itu pada Park Chanyeol. Mereka telah merusaknya sampai tidak bisa diperbaiki, secara etis hal itu salah dan tidak bisa dimaafkan!” Taeyeon menyatakan, tetapi sang hakim tidak gentar karena kasusnya bukan tentang apakah praktik lembaga yang dieksekusi itu etis atau tidak.

Baekhyun terhuyung jatuh ke sikutnya saat dia mendengar suara-suara di ruang sidang berbicara satu di antara yang lainnya. Dia tidak tahu tentang apa yang mereka bicarakan karena rasa sakit yang berdenyut di seluruh tubuhnya; semakin banyak dia bergerak maka semakin sakit. Menangis pelan, Baekhyun menggertakkan giginya dan meraih kursi rodanya, berusaha untuk duduk. Kakinya terasa seperti timah atau mereka terpisah dari tubuhnya dan dia tidak lagi bisa menggerakkannya.
Tetapi, bukannya terasa seperti mereka telah diamputasi. Mereka masih menjadi bagian dari tubuhnya dan jika dia punya keinginan, disana pasti ada jalan. Hati nurani Baekhyun terus menerus membesar lalu memudar, suara-suara di kepalanya terus membesar lalu mengecil pula.
Mulanya, dia mendengar ayahnya memanggilnya beberapa kali, menyuruhnya berlari menggunakan sepatu bola barunya. Lalu, ada Jongin berkata “Hey…tapi kau tidak pernah tahu, kalau kau bisa berlari lagi, kau bisa menentukan standar dan menjadi sebuah keajaiban yang dibicarakan para dokter itu, kan?”  dan akhirnya Chanyeol yang memberitahunya bahwa dia yang terbaik, bahwa dia bisa menjadi pemain sepak bola yang hebat. Saat dia menutup matanya, Baekhyun melihat sebuah mobil yang membawa Chanyeol jauh dan dia benar-benar merasa tidak berguna hanya melihatnya lenyap untuk yang kedua kalinya.
Jantungnya berdegup sangat keras di telinganya dan dia mulai berkeringat.
Chanyeol membutuhkannya.
Mengumpulkan kekuatannya lagi, Baekhyun meraih dinding sebagai tumpuan dan berdiri seperti anak rusa yang baru lahir dan belajar berjalan dengan kedua lututnya yang gemetar. Dia merasa batang besi yang ada di dalam kakinya bisa patah kapan saja, tetapi dia tetap berjalan. Itu bukan masalah menjadi seorang yang cacat. Itu masalah mengenai mencoba, tidak peduli apapun yang terjadi.
Dia berada beberapa langkah dari kursi roda saat dia menarik napas dalam-dalam dan menantang kecacatannya. Satu, dua, tiga langkah. Satu kaki setelah yang lain. Rasa sakitnya menjadi sepuluh kali lipat seiring dengan langkah yang dia ambil tetapi Baekhyun berhasil membungkuk ke depan dan membuka pintu ruang sidang, hampir bertatap muka dengan beberapa staf yang berjaga di pintu.
Baekhyun mungkin sudah didorong keluar jika bukan karena ibunya yang menghampirinya untuk menopangnya.
“Maaf,” dia tersenyum lelah, “Aku harus pergi ke kamar kecil.” Sangat ironis saat Baekhyun ingat bagaimana dia sering menggunakan alasan yang sama kepada gurunya ketika mereka bertanya mengapa dia terlambat. Kali ini, dia tidak berusaha menutupi Chanyeol melainkan menutupi dirinya sendiri. “Beri seorang yang cacat waktu untuk istirahat, ya?” dia menyeringai, mengambil tempat duduk dan menutupi fakta bahwa dia hampir mati di koridor.
Ruang sidang menjadi sunyi setelah dirinya kembali dan ada jeda yang sangat tidak nyaman sebelum akhirnya sang hakim berbicara, mencoba untuk mengorganisir apa yang telah terjadi sebelum kemunculan Baekhyun yang tak terduga.

Saat tiba giliran Baekhyun untuk bersaksi untuk saudara angkatnya, Jongin membantunya ke podium dan ruangan menjadi sunyi.
Baekhyun berusaha untuk tidak melihat Chanyeol saat dia berbicara, tidak ingin melihat ekspresi sedihnya dan cara mengerikan yang institusi itu telah lakukan untuk mengubahnya, mengurungnya sehingga dia tidak lagi terlihat seperti Chanyeolnya dengan rambut cokelat, keriting dan mata yang besar. Sebelum dia membuang lebih banyak waktu, dia berdeham dan memaksakan suaranya untuk berkata, “Nama saya Byun Baekhyun… Saya adalah saudara dari Park Chanyeol, saudara angkat… Beberapa minggu yang lalu, Chanyeol menyelamatkan saya dari bangunan yang terbakar itu. Saat saya terbangun, ada api dimana-mana.” dia berhenti sebentar, memori itu sangat jelas di kepalanya. “Saya tahu… Chanyeol tidak mungkin menyalakan api dan merisikokan hidupnya untuk menyelamatkan saya, bahkan setelah saya menyuruhnya untuk pergi.”
Dia menelan ludah, tiba-tiba merasa kepanasan seolah-olah lidah api masih menjilati kulitnya. “Dia menyelamatkan saya. Dia menyelamatkan banyak orang.” katanya, melihat isyarat sang pengacara agar ia segera menyelesaikan kesaksiannya, “Saya tahu jika saya terlahir kembali, saya akan tetap menjadi saudara dari Park Chanyeol.”
Itu bukan apa-apa dari sebuah kesaksian, tidak dipikirkan secara profesional dan diucapkan dengan baik, tetapi yang terpenting adalah Baekhyun telah mengungkapkan semuanya dari hati dan beban di dadanya telah hilang.
Saat dia kembali duduk di kursinya, Chanyeol sedang memperhatikannya.

Mungkin satu atau dua jam sudah terlewati sampai akhirnya kasus itu hampir berakhir.

“Park Chanyeol akan segera keluar dari rumah sakit dan semua pasien dan staf dari institusi akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Park Chanyeol akan ditempatkan pada hak asuh Nyonya Byun dan dibebaskan dari semua biaya.”
Palu diketukkan ke sebuah balok kayu dan rapat dibubarkan.

“Jongin!” Baekhyun tersenyum kecil saat dia datang mencari temannya yang berada di kursi roda berada dekat bersama ibunya, mengangguk ke arah Taeyeon dan berterima kasih atas semua yang telah ia lakukan.
Dia tersenyum dan melambai ke arah mereka berdua, dengan Jongin menjawil bahu Baekhyun dengan seringai lebar. “Kupikir dia orangnya, kawan. Aku dapat nomor telponnya!” dia menyeringai sangat lebar.
“Kau apa?” Baekhyun tertawa, “Bagaimana dengan SooJung?”
“Kau benar soal dia bersikap keterlaluan, kupikir aku sudah tidak tertarik lagi dengan cewek kekanakkan,” dia menyeringai, menggigit bibir bawahnya ketika dia melihat Taeyeon berjalan memakai rok dan blusnya. “Aku tertarik dengan wanita, rawr.”
“Kepala seseorang akhirnya terpasang dengan benar,” Baekhyun menghela napas.
“Aku akan menikahinya.”
“Lupakan.”

Beberapa menit setelah kasusnya dibubarkan, Baekhyun melihat departemen kepolisian melewati beberapa orang yang berkumpul di ruang duduk, masing-masing petugas membawa para anggota staf yang diborgol. Baekhyun merasa senang melihat si pria berkacamata untuk yang terakhir kalinya sebelum pria itu dibawa masuk ke bagian belakang mobil polisi. Dia harusnya merasa kasihan pada pria itu, tetapi dia tidak; dia malah bertanya-tanya bagaimana kabar Kris.
“Baekhyun!”
Jantung Baekhyun berdegup ketika mendengar suara yang sangat ia kenal, melihat Chanyeol dibebaskan dari borgolnya. Ada sebuah jeda beberapa saat sebelum si raksasa itu berlari ke arahnya dengan kecepatan penuh, dan Baekhyun ketakutan dia akan menjatuhkan mereka berdua kalau saja bukan karena Chanyeol meluncur dengan lututnya dan memeluknya supaya Baekhyun tidak perlu turun dari kursi rodanya.
“Ow.” Chanyeol meringis ketika dia merasakan lututnya terbakar karena bergesekan dengan karpet, tetapi lengannya melingkar di tubuh Baekhyun dan dia menyeringai seperti tidak pernah melihatnya selama bertahun-tahun.
“Hey…” Baekhyun tersenyum, melepaskan pelukannya dan memegang wajah Chanyeol untuk memperhatikan bagaimana dia terlihat dengan rambut pendek. Dia menarik beberapa helai yang pendek dan tertawa kecil. “Aku merindukanmu.”
“Aku merindukan Baekhyun. Chanyeol merindukan Baekhyun.” tangis Chanyeol, memeluk saudaranya erat dan membenamkan wajahnya di lekuk lehernya. Dia memeluknya lebih erat saat orang-orang melewati mereka, berpikir bahwa mereka akan memisahkan mereka lagi atau dia harus ikut dengan orang-orang dari institusi. “Chanyeol ingin pulang ke rumah bersama Baekhyun.”
“Ayo pulang ke rumah kalau begitu.” Baekhyun menghela napas, suaranya bergetar, “Ayo kita pulang.”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 27"

Post a Comment