Baby's Breath Chapter 6
Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul .
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboyBaby's Breath [Indonesia] https://www.asianfanfics.com/story/view/390422/baby-s-breath-indonesian-indonesian-exo-translation-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
Baby's Breath [English/The Real] http://www.asianfanfics.com/story/view/378771/baby-s-breath-angst-romance-exo-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baby’s Breath
Baby’s Breath
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya.
Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi : Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Y-Ya, saya mengerti, saya akan segera ke sana, Pak.”
Setelah menutup panggilan, digenggamnya ponsel itu dan perlahan ia mengelus dada, menenangkan jantungnya yang bertalu-talu dan nafasnya yang sesak. Kepalanya masih pening dan tubuhnya mati rasa, kalau sampai ia berdiri terburu-buru, ia pikir ia akan muntah.
Untuk beberapa saat lamanya, Baekhyun duduk di samping onggokan kardus tak berbentuk dan tempat sampah, melamun. Memori masa kecilnya terkunci rapat di palung hatinya, dan entah berapa lama dan kerasnya ia memikirkan alasan mengapa ia mendorong Chanyeol atau kapan hal itu terjadi, tidak satu pun yang muncul ke permukaan. Tidak pula satu syak prasangka maupun sebuah potongan dari trauma mendalam itu muncul. Mungkin kejadiannya terlalu mengguncangkan dirinya yang masih kecil hingga dia melupakan semuanya, tersapu bersih dari ingatannya selagi ia tumbuh dan melupakan bocah yang ia hancurkan hidupnya.
Dia tidak yakin bagaimana caranya untuk bangkit atau menerima dirinya sendiri setelah mendengar kenyataan pahit dari mulut ibunya. Beliau bisa memberitahunya bahwa itu hanya sebuah kecelakaan, bahwa Chanyeol langsung berjalan ke tengah jalan dengan sendirinya supaya ia tidak merasa bersalah. Namun demikian, ia sadar bahwa kenyataan tersebut sudah tersimpan terlalu lama, bertahun-tahun. Mungkin beliau mengira sudah waktunya Baekhyun untuk tahu karena ia sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
Akan tetapi, apa ia siap? Apakah dirinya siap mental untuk menghadapi Chanyeol dan mengakui dengan sebenar-benarnya bahwa dialah orang yang bertanggung jawab... atas perbuatannya, membuat Chanyeol menjadi seperti sekarang ini?
Perlahan, ia mendorong dirinya untuk berdiri dan melangkah ke arah kantor polisi, sembari memikirkan hal yang harus ia katakan di depan Chanyeol agar semuanya kembali seperti semula dengan sendirinya. Lagipula, ia tidak bermaksud mengatakan kata-kata itu dengan sangat kasar, terutama, tidak untuk berakhir di kantor polisi. Akan lebih baik bila Chanyeol ditahan di sana daripada berkeliaran seorang diri, tersesat dan kebingungan. Namun bayangan akan Chanyeol yang dicampakkan dan diperlakukan buruk oleh orang yang melintas dan orang asing yang kejam semisal dirinya membuat air mata menggenang lagi di matanya.
Di luar dugaannya, kantor polisi itu tenang dan nyaman. Ini pertama kalinya ia masuk sebab ia selalu berpikiran bahwa hanya para kriminal yang patut masuk ke sana. Ada beberapa petugas yang sedang menerima telepon, tampak cukup sibuk sampai-sampai Baekhyun tidak punya tempat yang pas selain di pojok ruangan. Kemudian, ia melihat Chanyeol duduk di bangku, satu tangan terborgol di pegangan besi di sebelahnya. Pemandangan yang miris, Baekhyun nyaris ingin meneriaki para petugas karena sudah memborgol Chanyeol, mengetahui Chanyeol adalah orang paling tidak berbahaya yang pernah ia kenal. Park Chanyeol adalah orang yang akan menangis melihat bunga menjadi layu, jadi Baekhyun ragu ia dapat bertindak kriminal sampai ke tingkat harus dihukum.
Dia tidak bicara pada Chanyeol (dia belum menyiapkan batin untuk itu) dan langsung berjalan ke meja depan, tempat ia menangkap perhatian sesosok petugas latihan hati-hati. Di tanda pengenalnya terbaca “Do Kyungsoo”; dia tampak muda, kurang lebih dua-puluh-tahunan, bermata bulat besar. Senyum hangatnya membuat Baekhyun lega, untuk saat itu.
“Ah... nama saya Byun Baekhyun. Saya datang untuk Park Chanyeol.”
“Saudaranya?”
“Saudara tiri,” Baekhyun membenarkan, menyerahkan identitasnya. Mau tidak mau ia merasa khawatir, melirik Chanyeol dari ujung matanya dan mengira-ngira apa penyebab bocah ceria itu terlihat sedih dan lemah.
“Oh ya, saudara tiri, maafkan saya,” balas petugas tersebut sembari mengisi beberapa dokumen dan menyodorkannya pada Baekhyun beserta sebuah pulpen. “Kau hanya harus tanda tangan di sini, di sini, dan di sini, lalu Anda boleh pergi.”
Hanya itu saja? Baekhyun menatap kertas-kertas itu agak lama, membaca ketentuan-ketentuan yang dijelaskan. Terlalu banyak informasi untuk dibaca, jadi ia langsung memasukkan dokumen salinannya ke kantong dan menandatangani semua tempat yang harus ditandatangani. Satu-satunya informasi yang ia ingat adalah bagian singkat mengenai orang-orang yang ‘terbelakang’ dikenai retribusi yang harus ditanggung orang tua atau wali. Sisanya terlihat begitu sulit dimengerti. “Permisi, Pak Petugas,” dia bertanya perlahan, “apa yang sebenarnya Chanyeol lakukan?”
“Dia mencuri hot cake dari mobil penjual kue keliling di jalanan sini dan menyerahkan diri setengah jam kemudian. Tampaknya dia mengambilnya langsung dari oven, makanya jarinya agak melepuh. Kami sudah mengobatinya, dia pasti sudah tidak apa-apa.” Kyungsoo berkata dengan tenang, “Sesuai dengan peraturan federal, ada jaminan dan konsekuensi yang menyertai... tapi saya kira dia sudah sangat menyesalinya sekarang.”
“Oh... em... terima kasih.” Baekhyun tersenyum, mengikuti Kyungsoo begitu dia membuka borgol di pergelangan Chanyeol.
Begitu terbebas, Chanyeol mendongakkan kepala dan menatap Baekhyun seperti anak anjing yang baru dimarahi. Dan lagi, masih tersisa senyum yang belum memudar, bagaikan bara api kecil di tengah-tengah arang dan puing-puing.
Baekhyun mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menyampaikan perasaannya dengan pantas karena ia lebih keras kepala daripada yang ia inginkan.
“Bodoh.”
“Ya, Bu. Dia aman. Tidak usah khawatir, dan hati-hati di jalan.”
Dia masukkan ponselnya ke kantong dan berpaling pada Chanyeol di sebelah kananya, yang sedang mengunyah hot cake yang dibelikan Baekhyun di perjalanan pulang dengan gembira. Tatapannya turun ke plat nama Chanyeol dan ia teringat apa yang dikatakan ibunya tentang cita-cita Chanyeol menjadi seorang guru. Takdir sungguh kejam, membuat Chanyeol bahkan tidak dapat menjadi murid dengan plat nama sendiri.
“Kenapa kau mencuri, bodoh?” gumamnya, berusaha bersikap dingin seperti biasanya. “Kau kan bisa pulang dan makan dulu.”
Chanyeol berhenti mengecap. “Baekhyun tidak ingin Chanyeol kembali.”
“Yah, aku tidak benar-benar bermaksud begitu, bo...” dia berhenti, menggeleng. “Aku tidak sungguh-sungguh. Jadi jangan pergi-pergi sendirian lagi karena menebusmu itu merepotkan, paham?”
Chanyeol mengangguk-angguk dengan senyum mengerti, memilih melanjutkan peruntungannya dengan menanyakan, “Baekhyun, boleh aku tidur denganmu?”
“Tidak.”
“Sakit?” tanya Baekhyun seraya menggunting ujung perban yang baru ia ikatkan di jari-jari panjang Chanyeol. Bagian yang memerah agak melepuh, jadi dia mengoleskan sedikit krim pendingin dan membalutnya dengan perban supaya inflamasinya berkurang.
Pemuda tinggi itu mengangguk dan melihat perban yang terbalut rapi di jari-jarinya.
“Kau berani juga ya, menyambar kue langsung dari oven seperti itu...” desah Baekhyun, lalu ia berdiri untuk menaruh kotak P3K kembali di atas rak yang tadi ia ambil (dengan kursi, tapi itu di luar intinya). Dia berusaha berjinjit dalam waktu yang memalukan lamanya sebelum ia merasakan tubuh Chanyeol menyentuh punggungnya, mendorong kotak P3K itu ke tempatnya. Telinga Baekhyun memerah saat Chanyeol menarik diri.
Setelah luka Chanyeol diobati, Baekhyun berdiam diri di kamarnya lagi untuk menyelesaikan PR yang masih lama waktu dikumpulkannya. Itu membantunya melupakan masalah untuk sementara, semenjak harinya berputar di sekitar Chanyeol dan sulit untuk memperhatikan sekolah dan kehidupan sosialnya lagi.
Dia membalik halaman enam puluh dua buku matematikanya dan menemukan catatan yang diberikan Chanyeol di bwah pintu terselip di sana. Ia tidak sampai hati membuangnya, makanya ia menyimpannya di salah satu lacinya.
“Baekhyun?”
Bakhyun berbalik di kursi putarnya dan mendapati Chanyeol di ambang pintu kamarnya, memegang sesuatu yang tampak seperti kaleng berisi bunga-bunga putih tumbuh dari tanah basah yang terisi sampai penuh. Chanyeol meletakkan bunganya di meja belajar Baekhyun, tersenyum sangat lebar, “Baby’s Breath. Bunga kesukaanku. Kau boleh memilikinya.”
Baekhyun memutar kaleng itu, menemukannya cukup lucu karena label sosis ‘Vienna’ masih melekat di situ. Bunga-bunga putih itu mungil dan bergerombol. Mereka memang bukan bunga terindah yang ada di dunia, tapi ketulusan hati Chanyeol yang membuat bunga itu bahkan tampak lebih cantik daripada mawar, anyelir, maupun lili. Tanpa hal itu, kecantikan apa yang bunga-bunga lain miliki dengan sendirinya?
“Terima kasih, Chanyeol...” katanya dengan senyum kecil, malu.
Baby’s Breath itu berada di bingkai jendela sebelah tempat tidurnya malam itu,
dan Baekhyun bermimpi indah.
“Chanyeol, ini milikmu.” Baekhyun menyodorkan sekotak bento pada Chanyeol, tas kecil yang berisikan bekal tersebut berlabel ‘Byun Baekhyun’. Itu kotak bekal Baekhyun saat masih kecil, dan bentuknya tidak seperti baki atau apa pun yang bisa ditumpahkan dengan mudah.
Menghindari tatapan Chanyeol yang bercahaya setelah ia menyerahkan bekal makan siang spesialnya, diambilnya tas olahraganya dan memberi isyarat pada Chanyeol yang berdiri diam di sana dengan seragam yang baru dicuci.
“Apa yang kau lakukan di situ, Park Chanyeol?” Dia tersenyum lembut. “Ayo berangkat sekolah.”
0 Response to "Baby's Breath Chapter 6"
Post a Comment