Baby's Breath Chapter 7


Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Kau mendengarnya? Park Chanyeol... adalah saudara tiri Byun Baekhyun.”
“Si idiot baru dari kelas khusus?”
“Tepat sekali. Kalau mereka bersaudara, bukankah itu artinya Baekhyun juga terbelakang mentalnya, seperti dia?”
“Hei,” sela Jongin dengan senyum lebar. “Bagaimana mungkin mereka bersaudara jika nilai Baekhyun masuk lima besar di sekolah, sedangkan Chanyeol menghitung sampai lima saja tidak bisa.”

Baekhyun pura-pura tidak mendengarkan temannya yang bergosip ria tak jauh darinya, tangannya terlipat di bawah kepalanya. Meski sangat menjengkelkan dan menyebalkan mengetahui teman-temannya ikut andil menyebarkan desas-desus, ia tidak mampu berbuat apa-apa. Dan ia tak ingin melakukan apapun. Lagipula Chanyeol juga tak memahami apa yang mereka bicarakan, jadi untuk apa ia peduli? Dia bukanlah bahan gosip mereka, dan ia pun tahu bahwa rumor panas sekalipun akan pudar seiring waktu dan orang-orang akan sibuk mengomentari gosip baru.
Saat ia mengangkat kepalanya perlahan dan menguap bagai kucing yang baru bangun dari tidur siang, rombongan penggosip berpencar dan para anggota tim sepak bola menggerombol sendiri. Secara garis besar, harinya tidak begitu berbeda dari biasanya kecuali keberadaan sesosok raksasa lembut yang duduk dua baris di depannya.
Tidak peduli ke mana pun ia pergi, Chanyeol selalu menjulang seperti ibu jari yang bengkak. Bahkan seragamnya harus dijahitkan supaya pas dengan kaki panjangnya yang tidak normal. Dengan penasaran, Baekhyun mengintip dari balik pundak Chanyeol dan mendapatinya berlatih menulis kalimat di buku catatannya, seperti biasa. Di samping buku catatan Chanyeol ada tiga buah pensil yang sudah diruncingkan, dan tiap kali ada teman sekelas yang iseng menabrak mejanya dan menjatuhkan salah satu pensil tersebut, Chanyeol dengan sabar memungutnya kembali dan mengaturnya dengan rapi.
“Chanyeol, boleh aku pinjam pensilmu?” seorang gadis bertanya dengan senyum palsu, dan Chanyeol dengan senang hati meminjamkannya sambil tersenyum tulus.
“Chanyeol, bolehkah aku meminjamnya juga?” tanya seorang gadis lain, teman-temannya cekikikan di belakangnya.
Baekhyun menaikkan alisnya saat melihat Chanyeol memberikan lagi pensilnya.
“Aku meninggalkan punyaku di rumah juga, Chanyeol. Boleh aku pinjam satu?” Kali ini Jongdae yang bertanya, membalas dengan seruan “terima kasih, kawan!” saat bocah linglung itu menyerahkan pensil terakhirnya.
“Hei Chanyeol, kita kan teman. Apalah artinya sebatang pensil, iya kan?” Jongin tergelak. “Tidak keberatan kan kalau ini ku ambil?” Ia mengambil pensil terakhir langsung dari tangan Chanyeol, dan di luar dugaannya, Chanyeol hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.
“Ba-baiklah.” Chanyeol tersenyum, menggosok-gosokkan kedua tangan kosongnya. “Kau... Kau bisa meminjamnya karena kau adalah temanku.” Seceria apa pun ia mengatakannya, tetap tak dapat dipungkiri bahwa ia terlihat gugup. Ia sibuk mengusap tangannya yang berkeringat pada celananya, seperti seorang anak kecil yang merasa ketakutan tanpa selimut kesayangannya. Mata kanannya berkedut-kedut tiap dua detik.
Baekhyun sulit mempercayai bahwa Chanyeol baru saja menyerahkan semua alat tulisnya seperti sumbangan amal saja, padahal jelas-jelas teman sekelasnya punya kotak pensil sendiri-sendiri dan tidak membutuhkan alat tulis Chanyeol. Baekhyun menggerutu tanpa sepengetahuan yang lain dan bangkit berdiri dari tempat duduknya, lalu diam-diam meletakkan pensilnya di sebelah buku Chanyeol. “Aku mau ke toilet,” gumamnya seraya melewati Jongin, menabrak bahunya sedikit terlalu keras untuk dianggap ketidaksengajaan.


Untungnya, setelah bel kedua berbunyi, rekan setimnya beralih membicarakan pertandingan musiman dengan tim saingan dari Kyeongkido. Tampaknya, semua orang akan hadir, tidak terkecuali murid yang bukan dari daerah situ. Mengapa? Pertandingan musiman itu layaknya Olimpiade bagi anak-anak yang tinggal di perkampungan, serta merupakan tiket gratis untuk malam bebas-stres. Daripada berkutat memecahkan soal matematika dan berharap bisa melewati ujian masuk universitas dengan baik, mereka dapat menonton pertandingan dan melupakan pelajaran sesaat.
Ini adalah situasi yang menguntungkan semua orang, kecuali Baekhyun.
Ia tidak sedang dalam kondisi prima untuk berlatih, dan ada tekanan besar baginya karena ia merupakan salah satu penyerang di tim.
Pertandingan musiman yang akan segera tiba itu bagaikan mimpi buruk bagi Baekhyun, namun ia pikir hal itu pasti karena sudah lama ia tidak bermain sepenuh hatinya. Ia mulai bertanya-tanya bagaimana rasanya bermain sepak bola hanya sebagai hobi semata, daripada sebagai pertandingan kompetitif.
Baekhyun menghela nafas dan menyandarkan kepalanya ke tembok di sebelahnya, tenggelam dalam kegaduhan yang masuk kanan keluar kiri di telinganya sebelum bel berbunyi. Tidak berarti semua orang akan langsung tenang, namun ketika wali kelas mereka memasuki kelas bersama dua sosok murid asing, kelas hening seketika.
Murid-murid baru itu terlihat sangat menakutkan. Walaupun mereka mengenakan seragam yang sama, namun pakaian itu terlihat seperti sesuatu dari film kriminal; pendek kata, kesan pertama mereka menampakkan masalah. Murid yang di kanan bertubuh amat tinggi, dengan alis tebal penuh kharisma, serta sepasang mata yang tajam. Sulit dipercaya bahwa siswa itu seumuran dengannya. Sementara itu murid yang di kiri sedikit lebih pendek, dan tampangnya lebih ke arah eksotis ketimbang mengerikan. Ada sesuatu dalam roman mukanya yang mengingatkan Baekhyun pada sejenis kucing; bukan kucing rumahan yang kecil dan manis, namun seekor macan kumbang yang licik.
“Kelas 3-1. Dua orang ini akan menjadi teman sekelas kalian selama sebulan. Mereka datang jauh-jauh dari Beijing, jadi berilah sambutan hangat pada mereka,” tukas sang guru.
Si tinggi di sebelah kanan mengangkat tangan, memotong penjelasan sang guru. Ia bicara dalam bahasa Inggris. “Sebenarnya, Vancouver.”
“Ah, ya. Vancouver. Maafkan saya. Anak-anak, ini Huang Zitao. Yang dari Vancouver ini Wu Yifan.”
“Kris.” Kembali Yifan membetulkannya.
Zitao melirik ke arah murid satunya dan mendengus.
Vancouver atau Beijing, Baekhyun tidak ambil pusing. Ia tidak mau membuat masalah dengan mereka karena ia tahu (atau ia kira demikian) bahwa orang Cina terlatih dalam ilmu bela diri (jelas sekali ia terlalu banyak menonton film kungfu).
Huang Zitao akhirnya duduk di kursi kosong di belakangnya, sedangkan Kris di seberang sana, antara Jongin dan Sehun. Dibanding cowok Vancouver itu, Jongin dan Sehun terlihat seperti kurcaci; setidaknya dari sudut pandangnya saat itu. Ia membungkuk ke depan lagi dan melipat tangannya dengan malas, namun kali ini, ia sama sekali tidak mengantuk. Bagaimana ia bisa tidur dengan tenang jika sosok di belakangnya melubangi belakang kepalanya dengan mata?


Baekhyun tidak melihat Chanyeol seharian setelah homeroom. Itu normal, tapi mungkin Baekhyun berharap bertemu dengannya di lorong... atau mungkin di kantin, paling tidak hanya memandangnya sesaat karena aneh rasanya jika tidak ada Chanyeol di dekatnya. Namun saat ia menyadari telah memberi perhatian yang berlebih, ia menggelengkan kepala dan langsung melenggang ke tempat latihan.
Di tengah-tengah waktu istirahat pertama mereka, Jongin berlari ke arahnya dan meletakkan tangannya di pundak Baekhyun. Baekhyun rasa ia sudah tahu apa yang akan dibicarakannya.
“Hei, maaf soal yang tadi,” ucapnya, lalu Baekhyun menyingkirkan tangannya sambil menggeleng kecil.
“Jangan minta maaf padaku; minta maaflah pada Chanyeol.” Ia merasa enggan membahas lebih lanjut masalah itu, karena dialah yang punya lebih dari satu alasan untuk meminta maaf dari Chanyeol; ia pun memungut bola yang berlumpur dan mengapitnya di lengan, meninggalkan Jongin sendirian dengan ketegangan di antara mereka.
Di luar dugaannya (dan kecemasannya), Chanyeol tidak datang menonton.


Anehnya lagi, Chanyeol tidak mengucapkan satu patah kata pun sepanjang perjalanan pulang maupun saat makan malam. Suasananya canggung, mengambil potongan SPAM (merk daging kaleng/kornet) dan tauge dari piring yang sama tanpa ada yang memulai percakapan, karena Baekhyun mengira Chanyeol akan lebih dahulu menceritakan harinya. Saat pemuda yang lain itu tetap diam seribu bahasa, dia tidak memaksa lebih jauh dan membereskan meja setelah mereka selesai makan.
Pada saat keduanya sudah terbaring di tempat tidur masing-masing, Baekhyun mendekatkan tubuhnya ke tembok tipis yang memisahkan kamarnya dan Chanyeol. Bila dia bersandar lebih dekat, ia bisa saja mendengar desah nafas Chanyeol di sisi lainnya. Ia ketuk permukaan tembok itu pelan dengan buku jarinya.
“Hei... Chanyeol... apa kau sudah tidur?”
Sebuah gumaman terdengar dari seberang sana.
“Kau tahu, mereka bilang kau bisa terus bersekolah kalau nilaimu bagus. Kau suka sekolah, kan?” Ia pikir tidak buruk juga sedikit berbohong demi kebaikannya, dengan harapan suatu saat penanggung jawab sekolah dapat melihat potensi dalam diri Chanyeol dan mengizinkannya bersekolah lebih lama. Ia menarik selimutnya hingga ke dagu dan menghela nafas, memutar badannya menatap langit-langit kamar. Sinar dari stiker bintang yang tertempel di situ masih berpendar terang, yang mana aneh karena Baekhyun membelinya dengan harga murah.
Ia terus memandangi kumpulan bintang-bintang plastik itu, ada yang besar dan ada yang kecil. Ia menaruh yang terbesar di tempat yang selalu bisa dilihatnya tiap malam, sedangkan yang kecil tersebar mengelilinginya atau membentuk rasi bintang yang lamat-lamat diingatnya. Lalu, ia menangkap sosok sebuah bintang yang paling kecil namun bersinar paling terang di sudut. Baekhyun harus sedikit memiringkan kepala untuk melihatnya, namun benda itu ada, bersinar lebih terang dari yang lain meski berada di tempat paling gelap.
Bintang itu adalah Chanyeol, terbuang dari galaksi bintang-bintang yang tidak seterang dirinya.
Mereka memang terang, tapi Chanyeol lebih terang.
“Kau tahu....” Baekhyun berhenti sejenak, masih memandangi gugusan bintang yang tertempel di langit-langit. “Kalau anak-anak itu menindasmu... mereka bukanlah temanmu, Chanyeol. Kau boleh bilang tidak. Mereka akan terus mengganggumu kalau kau terus berbaik hati pada mereka.”  Memang, ironis bahwa Baekhyun belum cukup berani untuk membela Chanyeol di hadapan teman-temannya, tapi setidaknya ia ingin saudara tirinya tahu, bahwa ia sendiri bukanlah tandingan mereka. Lagipula, orang baik selalu jadi yang terakhir. Paling tidak... di sekolah.
Ia berhenti bicara begitu menyadari bahwa hanya dirinya seorang yang meneruskan percakapan, bicara pada dinding. Ia mengetuk lagi dengan pelan, siapa tahu Chanyeol sudah jatuh tertidur.
Hnnn...”
“Chanyeol, kau baik-baik saja?”
Ghh...”
Baekhyun menendang selimutnya dan berjalan secepat mungkin ke kamar Chanyeol seolah berjalan di atas api. Ia menerobos pintu dan menemukan Chanyeol berkeringat sebutir-butir jagung di balik selimut, wajahnya pucat dan kulitnya basah serta dingin. Panik, Baekhyun pun meletakkan tangannya di dahi Chanyeol. Panas sekali. Suara rintihan Chanyeol hampir sama sekali  tidak membantu dan Baekhyun segera mengambil telepon dan menekan tiga digit.
“Halo? Saya butuh ambulans segera. Tolonglah, cepat kemari. Tolong.”
Ia menggenggam erat tangan Chanyeol.
“Bertahanlah, Chanyeol. Bertahanlah.” 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 7"

Post a Comment