Baby's Breath Chapter 8


Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baekhyun tidak pernah melihat begitu banyak warna putih dalam hidupnya. Seprai-seprai putih, tembok-tembok putih, seragam putih pucat para staf medis yang memaksa Chanyeol naik ke tandu, ambulans putih… Dia tidak bisa mengukur seberapa mengerikannya semua itu bagi Chanyeol yang menyaksikan semuanya terungkap dari sudut pandang anak kecil. “Aku harus ada bersamanya,” ia memberitahu para staf saat mereka mendorong Chanyeol masuk ke bagian belakang ambulans. “Dia ketakutan.”

Dan begitupun dengan dirinya. Cepat-cepat ia memanjat masuk ke dalam kendaraan yang sesak dan menggenggam tangan Chanyeol yang pucat di antara kedua tangannya. Para tetangga telah keluar menonton, beberapa berbisik-bahwa bahwa mungkin Chanyeol akhirnya menemui Sang Pencipta, atau mungkin sudah jadi gila.
Baekhyun menatap para staf berusaha melakukan apapun yang mereka bisa untuk menjaga Chanyeol tetap nyaman, pertama memasangkan masker oksigen di atas mulutnya untuk membuka paru-parunya. Dia merasa lebih tak berdaya daripada seseorang yang ada di usungan, tidak ada kekuatan untuk berbuat apa-apa selain menyaksikan saudara tirinya melemah, semua karena dirinya.


“Hanya flu.”
Baekhyun mendongak menatap dokter yang menyiratkannya senyuman hangat, nyaris seperti seorang ayah (dia tidak menyangka seorang dokter mampu menampakkan mimik seperti itu), dan melepas nafas yang telah ia tahan tanpa sadar. Ia melepas tangannya yang tergenggam, terlambat menyadari bahwa selama ini ia mengelupasi kulit mati tangannya karena gelisah. “Jadi, apa dia baik-baik saja?” tanyanya, tidak begitu bisa melepas beban yang ada di pundaknya.
“Dia akan baik-baik saja dalam beberapa hari. Kami akan merawatnya di sini untuk satu atau dua hari, baru dia boleh pulang ke rumah,” jelas sang dokter. “Rumah adalah tempat terbaik saat kau sakit, bukan rumah sakit.”
Mereka berdua tertawa, walaupun Baekhyun masih nampak gelisah setelah berterimakasih pada pria tersebut. “Maaf, Pak…” ia ragu-ragu bergumam. “Apakah ada kemungkinan… bahwa... Chanyeol akan sembuh?”
“Sembuh?” Sang dokter memasukkan ujung stetoskopnya ke dalam kantung di dadanya saat Baekhyun melihat sebuah plat nama hitam mengkilap yang terpatri “Kim Joonmyeon”. Dokter itu berwajah ramah dan suaranya lebih ramah lagi yang meyakinkan ia bahwa Chanyeol berada di tangan yang tepat.
“Saudara tiriku agak… spesial,” katanya. “Dia kecelakaan beberapa tahun yang lalu dan tidak berpikir layaknya anak-anak normal. Aku ingin tahu… seandainya dia berusaha sangat keras… apakah ada kemungkinan dia bisa... normal kembali?”
Joonmyeon membawa Baekhyun ke barisan tempat duduk di salah satu sisi ruang tunggu, lalu duduk dengan sebuah desah. “Penyakit mental dan keterbelakangan mental adalah ssuatu yang sama sekali berbeda. Keterbelakangan mental biasanya bersifat keturunan, 90% kasus-kasus ini… merupakan kondisi seumur hidup.” Dia memberi jeda dan melirik Baekhyun yang menatap pangkuannya seperti baru saja melakukan sebuah kejahatan. “Sedangkan pasien dengan penyakit mental dapat disembuhkan dengan konseling dan terapi.”
“Kami tidak mampu menjangkaunya, seorang psikolog maksudku…”
“Siapa bilang kau butuh seorang psikolog?” Joonmyeon tertawa kecil, dengan lembut menyentuh bagian tengah dada Baekhyun dengan dua jari. “Jenis terapi yang paling baik adalah yang menyembuhkan hati.” Dia menaikkan alis sedikit ketika pemuda itu menatapnya kosong. “Kasih sayang,” dia menekankan, “aku berikan resep obat, kasih sayang; over dosis pun tidak masalah.”
Dengan itu, Joonmyeon minta diri dari ruang tunggu dan meninggalkan Baekhyun bertanya-tanya apakah sang dokter telah menjawab pertanyaannya
atau memberinya sebuah pertanyaan lain yang harus ia pecahkan.


“Hei… bagaimana kabarmu?” Baekhyun bertanya pelan pada Chanyeol yang sedang duduk di kasurnya, masih sangat pucat tetapi lebih baik daripada saat terakhir kali ia melihatnya. Dia merasa lega karena ternyata Chanyeol hanya demam, tidak ada sesuatu yang ganas atau menimbulkan kematian. Ia pikir Chanyeol mengalami serangan jantung atau kambuh, ternyata hanya flu parah. Baekhyun duduk di pinggiran kasur yang kaku itu dan menarik salah satu ujung rambut Chanyeol. “Seharusnya kau memberitahuku kalau kau tidak enak badan.”
Dia ingat bagaimana Chanyeol menghilang hampir sepanjang jam sekolah, tapi ia tidak peduli untuk menanyakan keberadaannya, untuk mendengar bagaimana keadaannya.
“Aku…” Chanyeol berhenti di tengah-tengah kalimat, mendongak menatap langit-langit dan menggerakkan jari tangan di depannya seakan berpikir keras. Tentu saja, otaknya tidak begitu cepat menerjemahkan kata-kata ke mulutnya. “Aku ada di kamar kecil,” katanya pada akhirnya, alis bertautan, “aku merasa tidak enak… dan aku mencoba untuk keluar dan… pintunya terkunci.”
“Pintunya terkunci?”
Chanyeol mengangguk, benar-benar tidak menyadari. “Aku berteriak tolong! Tolong!” Ia berteriak, dan Baekhyun harus memegangi tangannya dan menutup mulutnya supaya tidak mengagetkan pasien lain. Chanyeol berbisik, “Lalu penjaga sekolah yang baik datang dan membiarkan aku keluar… penjaga sekolah yang baik… penjaga sekolah yang baik itu memindahkan kursinya.”
“Kursi?” Baekhyun mendesis. Chanyeol tidak mengunci dirinya sendiri; anak-anak yang berpikir memelonco murid baru itu menyenangkan telah menyangga pintu kamar mandi dengan kursi dan meninggalkannya. Bayangan hal tersebut membuatnya meringis frustasi, lalu marah. Tidak peduli seberapa besar dirinya ingin meneriaki Chanyeol karena bertingkah bodoh dengan bodohnya setiap waktu, dia tidak tega memarahi seseorang yang dengan polosnya tidak sadar dirinya telah diperlakukan kejam. Lalu, kali ini, ia marah pada dirinya sendiri karena kurang percaya diri  untuk membela Chanyeol karena setidaknya, dia berhutang budi padanya.
“Dengar, Chanyeol, dokter bilang kau butuh tinggal di sini satu atau dua hari supaya sehat,” dia membujuk Chanyeol sebagaimana ia membujuk anak kecil yang sedang menangis. “Mereka akan memberimu makanan yang enak dan…”
“Apa Baekhyun akan tinggal… tinggal di sini?”
Baekhyun menggeleng pelan. “Aku ada latihan sepak bola. Akan ku coba kemari kalau sudah selesai.”Ia melihat sekeliling untuk mencari benda menarik yang dapat dimainkan Chanyeol. Betapa melegakannya karena ia menemukan sebuah bloknot dan sewadah pensil -pulpen tepat di sebelah vas bunga. Kalau ada sesuatu yang dapat membuat Chanyeol sibuk sepanjang hari, itu adalah buku catatan yang terbuka. Di sana juga ada sebuah buku tipis (atau selebaran, dia tidak tahu pasti dengan sekali lihat) di salah satu laci, tepat di bawah Kitab Suci. Ia membuka halaman secara acak, dan masuk ke bawah selimut di sebelah Chanyeol. “Ini. Ayo tulis sesuatu.”
Dia menaruh buku catatan itu di meja lipat yang dapat di atur dengan mudah di depannya, lalu melingkupkan tangannya di tangan Chanyeol. Anehnya, tangan Chanyeol terasa kasar dan mengapal disentuh, tidak lembut dan kecil seperti yang ia bayangkan. Dia harus berulang kali mengingatkan dirinya bahwa Chanyeol seusia dengannya, bukan anak tujuh tahun.
Pelan-pelan, dia membimbing tangan pemuda itu beserta sebatang grafit di halaman kosong itu. “Byun… Baek… Hyun.” Dia mengejanya perlahan, menggores garis terakhir dan pelan-pelan menyandarkan kepalanya di lengan Chanyeol selagi bertumpu padanya.
“Byun… Baekhyun.” Chanyeol membaca kata-kata itu perlahan-lahan.
“Bagus,” Baekhyun memujinya, lelah dengan apa yang ia alami hari ini. “Kau cukup baik dalam membaca, tetapi tidak untuk menulis, heh?” Dia menunjuk salah satu halaman yang terbuka, ke gambar hitam putih lanskap yang membosankan dan sebuah puisi yang tercetak di bawahnya. “Akan aku bacakan ini untukmu,” katanya.

Di dunia yang berikutnya,
bila kau terlahir kembali sebagai seorang rupawan,
Kuingin terlahir kembali sebagai malaikat.
Walau ku tak terlihat,
dan kau akan mencintai yang lain,
Kuingin terlahir kembali sebagai malaikat
untuk menjagamu.

Suara Chanyeol terdengar membacakan bait kedua, suaranya yang dalam dan berat membuat Baekhyun terkejut saat anak itu berusaha membaca kalimat yang tidak ia mengerti dengan baik.

Di…dunia yang b-berikutnya,
bila…kau te… terlahir kembali sebagai seekor burung cantik,
Aku… ingin terlahir kembali… sebagai pohon besar.
Walau ku harus… menunggumu,
di satu… tempat,
Aku ingin... terlahir kembali… sebagai sebuah… pohon,
tempat kau... beristirahat… saat s-sayap-sayapmu… lelah.

“Bagus,” Baekhyun tersenyum lembut, mengamati bagaimana bibir Chanyeol bergetar dan matanya berkedip cepat seakan tidak mengerti sama sekali apa yang barusan ia baca. Mungkin memang tidak. Puisi itu mengungkapkan perasaan dan sentiment yang bahkan menurut Baekhyun aneh dan membingungkan.


Chanyeol tidak kunjung menaruh buku itu dalam waktu yang lama.


“Aku bawakan ‘Sexy Baek’!” Jongin berseru—yang membuatnya jengkel—dan mengaitkan lengannya di pundak Baekhyun seakan sudah tidak melihatnya selama bertahun-tahun. Mereka berjalan beriringan menuju lapangan sepak bola, sangat berkeringat sampai Baekhyun bisa merasakan keringat Jongin meresap ke bajunya.
Baekhyun sengaja menghindari teman-teman se-tim-nya sepanjang latihan pagi itu. Dia hanya tidak dapat menatap mata mereka tanpa membuang muka dengan muak karena bisa saja salah satu dari merekalah yang sudah menjebak Chanyeol di dalam kamar kecil, seakan tidak masalah kalau Chanyeol bersaudara dengannya. Siapa yang dia bohongi sebenarnya? Dia tidak bisa menyalahkan mereka, terutama saat mereka tidak punya seorang pun yang mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan tergolong  pelecehan dan penggencetan.
“Kemarin kau tidak mengunci Chanyeol di kamar kecil, kan?” gumamnya selagi keduanya berjalan ke tengah lapangan.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.”


Pertandingan musiman tinggal seminggu lagi, dan anehnya, Baekhyun tidak merasa ingin berlari.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 8 "

Post a Comment