Baby's Breath Chapter 14

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Begini caranya menulis namamu. Byun... Baek... Hyun. Lihat, mudah, kan?”
“Wow, Chanyeol, kau pintar sekali!”
Baekhyun kecil dengan dua gigi depan tanggal tersenyum lebar pada Chanyeol yang juga tengah tengkurap. Teras tempat mereka berbaring hangat karena sinar matahari pagi. Mereka berdua baru pulang sekolah dan Chanyeol berkunjung untuk membantu Baekhyun mengerjakan PR, yang mengharuskannya menulis namanya di kotak-kotak biru. Chanyeol sudah belajar menulis beberapa bulan sebelum Baekhyun; nyatanya, ia adalah murid paling cerdas di kelas yang gemar mengajari teman-temannya.

Baekhyun menopang tubuh dengan sikunya dan menghirup, ingus mengalir dari lubang hidungnya saat ia memperhatikan Chanyeol menuliskan namanya pada buku catatannya. Ia mengunyah sandwich-nya, irisan daging mencuat keluar di antara dua potong roti gandum itu.
“Aku pikir kau harus jadi guru, Chanyeol, kau pasti akan jadi guru paling pandai di seluruh dunia, aku rasa,” gumam Baekhyun dengan mulut penuh daging, keju, selada, dan roti gandum.
Chanyeol hanya merespon dengan senyuman, namun ada makna lebih, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, di balik senyuman itu karena Baekhyun telah menanamkan benih yang lebih berharga dari apa pun di hati emas Chanyeol, benih yang butuh waktu untuk berkembang jadi bunga yang indah.
Ia telah memberi Chanyeol harapan.


Sementara siswa-siswi lain berlarian kalang kabut ke arah gerbang sekolah pada menit-menit terakhir, Baekhyun berhasil menerobos mereka tepat waktu sebelum gerbang ditutup. Itu bukan kali pertama ia kabur dari kelas, yang pasti, satu dari beberapa kali. Ia hanya tidak ingin masuk sekolah secepat itu karena hatinya terasa amat berat. Pikirnya, jika ia memasuki kelas dengan kondisi kaki seperti sekarang, ia pasti akan mual. Bukannya tidak enak badan, tapi ia tidak sanggup mengatasi akibat dari insiden itu.
Ia tidak tahan mendengar teman sekelasnya bergosip tentang siapa-memukul-siapa serta bertaruh tentang apa yang akan terjadi pada Baekhyun atau Chanyeol selanjutnya. Dia tidak mau mendengar pelatihnya mengomel mencari pemain pengganti untuk turnamen mendatang, nama Baekhyun telah dicoret dari daftar. Dari semua itu, ia paling tidak ingin menghadapi fakta bahwa waktu berlalu terlalu cepat baginya. Hal itu sangat menakutkan, dan walau Baekhyun dididik untuk tidak lari dari masalah, ia tidak dapat membendungnya.
Untuk sekali ini, ia merasa seolah ada mimpi buruk yang mengejar dan memojokkannya di koridor sempit, dan ia tidak bisa sembunyi. Sepertinya semua orang kecuali dirinya tahu cara mengatasinya, jadi ia lebih memilih berlari. (Bukan berlari dalam arti sebenarnya, karena kakinya masih belum pulih)
Baekhyun belum terlalu jauh dari sekolah ketika ia melihat sesosok siswa berseragam sama. Bukan hal yang mengherankan, karena belakangan ini jumlah murid pemberontak yang membolos dan melakukan entah-hal-apa saat jam sekolah meningkat drastis. Bahkan polisi sudah pasrah akan hal itu, menyamakan murid-murid itu dengan “wabah tikus” yang merajalela di seluruh kota. Menangkap satu pembolos tidak membuahkan hasil yang signifikan, jadi mereka sudah malas menanganinya.
Itulah mengapa polisi langsung asal mengirim Chanyeol ke rumah sakit jiwa karena mereka tak mau direpotkan oleh anak-anak bermasalah yang tidak cukup pantas mendapat perhatian mereka.
Ia tak menyadari seberapa jauh ia larut dalam pikirannya sendiri sampai akhirnya ia berada dekat dengan murid SMA Hye-seong lainnya itu. Untungnya (atau mungkin tidak untung, ia tidak tahu), itu adalah Zitao.
“Aku sudah dengar tentang saudaramu,” kata Zitao tenang. Baekhyun membuka mulutnya untuk bicara, namun tak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan, jadi ia hanya mengangguk. Mungkin ia hanya shock mendengar Zitao berbicara dalam bahasa Korea untuk pertama kalinya, karena dalam anggapannya murid pertukaran itu hanya bisa berbahasa Cina.
“Aku punya saudara laki-laki juga,” kata Zitao, sambil menyalakan rokoknya setelah memeriksa bahwa di sekitarnya tidak ada polisi, “Aku anggota sebuah geng di daerahku. Bukan geng besar, hanya segelintir pemberontak yang merasa bisa menguasai dunia dengan mengacaukan satu kota.”
Baekhyun berdiri terdiam, tidak mengerti mengapa Zitao menceritakan kisah hidupnya di pertemuan resmi mereka yang kedua. Itu tentunya bukan hal biasa untuk memulai percakapan.
“Kami melakukan hal yang cukup... buruk,” gumam siswa pertukaran itu seraya menendang setumpuk peti kayu untuk dibuat alas duduk.
“Saudaraku seperti bocah itu. Saudaramu. Tidak pernah melakukan hal buruk; cuma berada di tempat yang salah di waktu yang salah,” katanya. “Suatu hari aku membuat masalah besar, dan kebetulan ia keluar mencariku, untuk mengajakku pulang. Ketika ia tahu aku terlibat tawuran, ia langsung melibatkan diri.”
Setelah jeda sesaat, Baekhyun memandang Zitao dengan ekspresi gusar. “Lalu apa hubungannya denganku?”
“Tak ada hubungannya denganmu,” jawab Zitao dengan seringai kecil di wajahnya, seolah ia mengetahui sesuatu yang tidak Baekhyun ketahui. Ia seperti kucing Cheshire (tokoh di Alice in Wonderland) dengan pertanyaan tak terjawab. “Aku hanya menceritakan sebuah kisah.” Ia melempar puntung rokoknya yang sudah padam dan menginjak serbuk nikotinnya dengan hak sepatunya.“Saudaraku adalah alasan aku berada disini, bukan di balik jeruji besi. Aku bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak berkelahi lagi, tapi baru saja aku melakukannya, untukmu.” Ia beranjak dan menepis debu di bajunya, “Jangan melakukan kesalahan yang sama sepertiku dengan lari dari masalahmu.”
Zitao merenggangkan tubuhnya layaknya kucing yang baru bangun tidur, kini berjalan ke arah sekolah. “Oi, ayo kembali ke sekolah,” ia memanggil di balik pundaknya, dan setelah merenung beberapa saat, akhirnya Baekhyun pun mengikutinya.


“Ada apa denganmu? Kau bahkan tidak memakan kecambahmu, padahal kukira kau menyukainya,” seru Baekhyun pada Chanyeol dalam perjalanan pulang sekolah, sambil membuka kotak makan Chanyeol selapis demi selapis, “Kamu cuma menghabiskan sosisnya.”
“Tadi aku... ah... mendapat hukuman, jadi tidak bisa makan semuanya.”
“Hukuman? Untuk apa?”
“Terlambat... tadi aku menunggu Baekhyun,” jawab Chanyeol dengan senyum lebar, seolah merasa bangga untuk mengakuinya.
Baekhyun pun menjitak kepalanya, namun dalam hati, mungkin ia merasa sedikit senang.


“Baekhyun, ini sulit sekali...,” rengek Chanyeol, ia mengacak rambutnya dengan geram, “aku tidak mau melakukannya lagi.”
Baekhyun, yang sudah membawa keluar alat tulisnya untuk belajar di ruang tamu bersama Chanyeol, menatap dari balik buku paket sejarahnya. “Tulis saja beberapa kalimat lagi, akan kubantu kalau kamu tidak mengerti sesuatu,” katanya sambil menggaruk telapak kakinya yang tidak gatal.
“Tidak. Aku tidak mau!”
Baekhyun terkejut mendapati Chanyeol yang penurut ternyata punya nyali untuk melempar bukunya hingga jatuh dari ujung meja dengan suara 'flop' ke lantai. Dengan tenang ia memungutnya. Sebuah kertas merah muda terjatuh. Dengan hati-hati, Baekhyun membuka kertas lecek itu dan membaca tulisan tangan yang jelas-jelas milik kepala sekolah. Itu adalah surat pengunduran diri. “Chanyeol....”
“Bu Guru bilang aku tidak boleh sekolah lagi...,” ia terisak. “A-Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa....”
Baekhyun meremas kertas itu di tangannya dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Ia mendorong buku catatan itu ke arah Chanyeol lagi dan merapatkan jari anak itu pada pensil. “Kalau kamu mengerjakan PR-mu, Bu Guru mungkin berubah pikiran, beliau akan mengizinkanmu tetap sekolah, aku akan bicara dengannya, aku janji....” Ia tidak tahu apa yang diucapkannya, tapi kini ia menekan ujung pensil Chanyeol di buku tulisnya, memaksanya untuk menulis kalimat yang samar-samar terbayang olehnya.
“Tidak!”
“Chanyeol!”
“Tidak mau, Baekhyun!”
Chanyeol berusaha melepaskan diri dari Baekhyun sekarang, kedua mata mereka mulai berkaca-kaca.
“Dengarkan aku, Chanyeol! Kalau kamu tidak menulis, mereka akan mengambilmu! Tidakkah kau mengerti, idiot!” Baekhyun berteriak, mencengkeram kerah seragam Chanyeol sehingga mereka saling tatap muka. Ia gemetaran karena tegang dan tidak tahu harus berkata apa, namun ia tidak sempat berpikir panjang sebelum serentetan kata keluar begitu saja dari bibirnya. Ia tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Ia sudah terlambat bertahun-tahun lamanya. “Aku... Akulah yang menghancurkan hidupmu, dan tiap hari aku mencoba untuk menebusnya, hanya saja... tembok penghalangnya... tembok itu terlalu tinggi. Kau bercita-cita menjadi guru, dan aku menghancurkannya! Bagaimana aku bisa hidup seperti ini, saat hanya akulah yang bisa bersekolah sedangkan kau... kau... kau... seperti ini....” Jemarinya bergetar hebat, dan akhirnya air mata mengucur deras membasahi pipinya, hingga jatuh menetes di atas plat nama kuning Chanyeol yang masih kosong.
Ia menundukkan kepalanya dan menangis sejadi-jadinya sampai bernafas pun sakit. “Tidak adil... Mereka akan mengambilmu tepat di saat aku menemukan lubang di tembok itu.... Ini tidak adil....” Baekhyun menangis seraya menenggelamkan dirinya dalam pelukan Chanyeol. Ia yang melantur sekarang, berusaha mengungkapkan semua yang ada di pikirannya sekaligus, namun yang keluar dari mulutnya terdengar seperti kumpulan kata-kata yang campur-aduk. “Kau tidak ingat apa-apa.”
“Aku ingat, Byun Baekhyun.” Yang mengejutkannya, suara Chanyeol terdengar hangat dan tenang, ia memiringkan wajah Baekhyun yang basah untuk mendekatkan dahi mereka, hingga hampir bersentuhan. “Aku ingat Byun Baekhyun, saudaraku... sahabatku.” Ia tersenyum. “Biarpun... biarpun aku tidak ingat caranya... menulis... Aku masih bisa ingat...”
Ia menepuk dadanya sendiri dengan lembut.
“Di sini.”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 14 "

Post a Comment