Baby's Breath Chapter 22

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hampir sebulan Baekhyun menunggu surat dari Chanyeol, seringkali hampir satu jam menunggu tukang pos di depan kotak surat untuk menyerahkan muatan paginya. Tukang pos itu tahu apa yang dia tunggu, dan menggelengkan kepala sambil memberitahunya “maaf, nak” sudah menjadi kebiasaan saat hanya ada tagihan yang dapat ia serahkan kepada Baekhyun.
Sebulan belum pernah terasa begitu lama baginya, menunggu berjam-jam demi sebuah amplop yang mungkin tidak berarti apa-apa melainkan hanya secarik kertas bagi orang lain.
Ibu Baekhyun sudah mendapat pekerjaan yang tetap sebagai seorang sekretaris, jadi dia sering lembur dan pulang ke rumah, mendapati Baekhyun sedang memberengut di ruang tamu. Dia akan bertanya “tidak ada surat?” dan mencoba meyakinkan putranya bahwa Chanyeol mungkin sedang sibuk, atau institusinya telah kehabisan perangko. (Baekhyun pikir itu semua omong kosong)
Saat sebulan menjadi berbulan-bulan dan berminggu-minggu, Baekhyun akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk menelepon sendiri institusinya dan seketika frustasi karena penerima telepon otomatis tidak bisa menyambungkannya dengan salah satu pekerja sampai hampir dua puluh menit kemudian. Dia menanyakan Park Chanyeol dengan nada yang paling tenang, sebisa mungkin yang bermartabat, tetapi niat sopannya untuk berunding ditolak dengan teguran tentang syarat dan ketentuan yang harus dia ikuti sebelum dia membuat permintaan pribadi. Pada akhirnya, dia merasa lelah berargumen dan menyerah.
Dia mengirim surat lain kepada Chanyeol, bertanya apa kabarnya, sambil terlambat memikirkan bahwa mungkin saja surat pertamanya hilang di kantor pos. Itu bisa saja terjadi. Itu adalah kemungkinan yang paling mungkin. Dia berharap bahwa itu adalah masalahnya, tapi bukan itu. Surat kedua juga menghilang, jadi Baekhyun mampir ke kantor pos sendiri untuk melacak keberadaan suratnya dan menemukan bahwa surat-suratnya telah diterima.
Lalu kenapa Chanyeol tidak mengirim apa-apa?
Dia berbolak-balik memeras otak dan menarik kesimpulan yang gegabah mengenai mengapa Chanyeol tidak membalas surat-suratnya. Apakah karena apa yang sudah ia tulis? Apa Chanyeol tidak lagi punya waktu untuknya? Sudahkah ia tergantikan? Pikiran yang paling aneh, acak memenuhi pikiran Baekhyun sampai dia tidak bisa lagi menunggu.
Dia memutuskan untuk pergi ke Seoul.


Pada hari Sabtu, Baekhyun membawa beberapa kue kering kesukaan Chanyeol di dalam tasnya dan membeli tiket bus ke Seoul, yang sangat mahal mengingat butuh beberapa jam menuju ke satu kota besar ke kota besar lainnya. Dia berakhir menghabiskan nyaris setengah dari uang sakunya, tetapi Baekhyun tidak terlalu peduli dengan biayanya pada saat itu. Dia tahu bahwa Chanyeol berada dalam masalah, dia rela menjual baju yang ia kenakan dan rumahnya demi mengeluarkannya dari masalah tersebut.
Perjalanan bus ke Seoul melonjak-lonjak dan membosankan, Baekhyun mulai mabuk perjalanan di jam-jam pertama dan muntah ke dalam tasnya karena dia tidak bisa melontarkannya ke tempat lain. Begitu banyak ke makanan ringannya.
Saat dia turun dari bus, dia berada di daerah kota terpencil yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dia membayangkan Seoul adalah kota dengan kerlap-kerlip lampu dan orang-orang yang sibuk berjalan terburu-buru, tetapi dia turun di dekat kota yang kumuh dan terlihat seperti akibat dari penyerangan zombie.
Baekhyun memutuskan untuk mengikuti petunjuk di peta dan sampai di taman kecil dan mencuci noda muntah pada tasnya di sebuah air mancur di sana (baunya tidak mau pergi, tapi setidaknya tasnya bersih).
Setelah berjalan beberapa mil melewati rumpun tanaman ceri dan nyaris saja ditabrak oleh sepeda motor, dia menemukan patung selamat datang dan pagar-pagar yang bersih dan mengkilap. Dia mengira di sana akan ada mesin yang menjaganya tetap terkunci atau penjaga, tetapi Baekhyun hanya mendorongnya dan pagar besi itu terayun terbuka.
Dia menegakkan posturnya sedikit saat berjalan masuk ke halaman gedung, menyadari bahwa banyak pasien yang berada di taman bersama dengan para pekerja berseragam biru membantu mereka.
Baekhyun memperhatikan bahwa mereka cenderung tidak berbahaya, dan tersenyum saat melihat beberapa baris bunga mawar dan tatanan bunga di sana. Setidaknya Chanyeol dapat merasa lebih baik karena ada bunga-bunga di sekelilingnya. Dia berpapasan dengan seorang wanita berbaju putih dari ujung kepala sampai ujung kaki yang menarik tangan Baekhyun secara tiba-tiba sampai dia hampir menjerit.
“Bagimana kau bisa masuk?” dia bertanya dan Baekhyun membatu ketika dia menyadari bahwa kedua matanya berwarna biru.
“Aku, uhm, di sana,” katanya sambil menunjuk pagar di belakangnya.
Wanita itu melepasnya sambil terkekeh. “Bagaimana caranya kau akan keluar?” Seringaian psikopat di wajahnya benar-benar membuat Baekhyun ketakutan sehingga dia cepat-cepat pergi dari sana, tetapi dia masih merasakan tatapan si wanita membakar belakang kepalanya.


Wanita tidak sopan itu dilupakannya saat dia memasuki lobi dan berjalan menghampiri meja resepsionis, jelas bangga pada dirinya sendiri karena dia telah pergi sejauh ini untuk menemui orang yang sama yang telah menyulitkannya melalui telepon. Dia mendorong beberapa dokumen yang telah dia selamatkan sebelum ia muntah ke dalam tasnya dan berbicara kepada seorang wanita yang menyambutnya dengan senyum datar.
“Aku mencari Park Chanyeol?” ia tertawa pelan untuk meredakan kegelisahannya, “Aku mengirim surat untuknya sebulan yang lalu, tapi aku tidak pernah mendapat apa-apa darinya.”
“Oh, layanan pos kami tutup pada saat liburan, Tuan. Anda bisa mendapat surat pribadi darinya pada bulan Februari.”
“Februari?” Baekhyun ternganga. “Itu bulan depan! Liburan tidak selama itu! Natal sudah sebulan yang lalu dan kami tidak bisa membawa Chanyeol pulang karena kalian menolak permintaan kami! Berapa lama lagi aku harus menunggu?”
“Tuan,” wanita itu berkata, “Itu adalah aturan kami. Kami tidak bisa mengubahnya.”
Mereka sama keras kepalanya dengan saat di telepon. Baekhyun menghela napas dan melirik dua orang pria yang berdiri di depan pintu utama yang mungkin mengarah ke semua kamar pasien. Seandainya dia adalah pemeran dalam sebuah film, dia bisa saja menyerobot masuk melalui dua pria itu dan menggeledah seluruh tempat itu untuk menyelamatkan Chanyeol, tetapi dia tahu dia harus lebih realistis. Tidak mungkin dia bisa melakukan sesuatu untuknya sekarang tanpa membuat dirinya ditendang keluar sebelum ia sempat mengucapkan Park Chanyeol.
“Bolehkah aku, setidaknya, mengunjunginya?”
“Anda harus membuat janji dua puluh empat jam sebelum tanggal perjanjian atas persetujuan dari wali yang sah, Tuan.”
Baekhyun menghela napas dan akhirnya mengibarkan bendera putih. “Baiklah.” Dia menggumam datar, lalu mengambil sebuah kartu nama dari meja marmer, sekali lagi menghitung kemungkinan dia bisa menyerobot masuk kalau dia berlari secepat-cepatnya ke sana. Sayangnya, perhitungannya berakhir dengan dirinya dikeluarkan atau ditangkap.
Jadi, dia menarik tasnya ke pundak dan meninggalkan bangunan itu, bertanya-tanya bagaimana bisa dia berhasil berada begini dekat tetapi begitu jauh untuk melihat Chanyeol.
Dia mengeluarkan ponsel dari saku belakangnya dan menelepon Jongin yang mungkin sedang bersama Soojung saat ini, melakukan entah-apa di siang hari. Seperti yang sudah diduga, ia mendengar bunyi gemerisik pakaian, retsleting ditarik, dan napas berat Jongin menembus mikrofon. Baekhyun harus menjauhkan ponselnya sedikit dari telinganya karena Jongin terdengar seperti mendengkur di telinganya.
“Jorok.” Baekhyun menggerutu.
“Aku sedang ganti baju setelah latihan, kawan. Ada apa?”
“Aku di Seoul, sedang mencoba untuk masuk, tetapi sepertinya aku harus membawa seorang pengacara bersamaku lain kali,” katanya, tiba-tiba merasa tertarik dengan kulitnya saat berjalan melewati halaman gedung. “Harusnya aku bisa menghentikan ini.”
Dia berhenti dan menurunkan ponselnya saat Jongin berbicara karena ia melihat dua pekerja membenahi gembok pada pagar yang tidak pernah dia lihat dari luar. Mereka juga memasang beberapa paku tajam di atasnya, membuat pintu masuknya terlihat seperti benteng daripada fasilitas medis, tetapi sekali lagi, Baekhyun menganggap mereka berdua sama saja.
Dia tidak terlalu tertarik dengan apa yang mereka lakukan, justru perbincangan merekalah yang menarik perhatiannya. Saat salah satu dari mereka mendeskripsikan seorang pasien dengan “rambut keriting dan mata yang besar”, ia tahu mereka sedang membicarakan Chanyeol.
“Ia memanjat pagar yang lain dan lari sangat cepat,” kata pria itu kepada pria yang lain.
“Apa dia gila?”
“Tentu saja! Mereka mencoba menutupi kepergiannya dari polisi berhubung dia kabur dua hari yang lalu.”
Kedua pria itu berhenti berbicara saat mereka melihat Baekhyun tang berdiri di sana menatap pagar dengan Jongin yang masih berteriak kepada ponsel yang tidak bereaksi.
Baekhyun tahu ia harusnya berputar balik dan meminta penjelasan dari klinik itu, tetapi dia berpikir kalau Chanyeol berhasil keluar, dia bisa saja masih berada di luar sana, tersesat, kelaparan dan kedinginan. Kalau dia masih berada di luar sana, ke mana ia akan pergi? Baekhyun berjalan keluar dengan pikiran yang masih samar dan memandang sekeliling.
Hanya ada pepohonan dan jalanan yang kosong bermil-mil jauhnya, tidak ada tanda-tanda peradaban di luar klinik itu, dan kalaupun ada, Baekhyun ragu kalau Chanyeol bisa meminta bantuan.
Baekhyun tidak bisa berlari. Kakinya menggagalkannya saat dia sedang benar-benar membutuhkannya, karena semuanya tiba-tiba saja menimpanya. Tentu saja, dia tidak tahu apakah ada pasien lain dengan “rambut keriting dan mata yang besar” di klinik, tetapi semua mulai masuk akal bagi Baekhyun sekarang. Semuanya, dan setiap beban potongan-potongan yang datang secara bersamaan ke dalam kepalanya terasa sangat berat sampai Baekhyun jatuh berlutut.


Baekhyun membayangkan Chanyeol tersesat ke suatu tempat, tidak bisa menemukan jalan pulang. Tidak mungkin dia bisa begitu saja naik bus atau segala bentuk transportasi umum lainnya. Kalau dia punya kesempatan dan akses untuk menelepon, dia pasti sudah meneleponnya. Pasti.
Dia bangun dengan kaki yang goyah, berpikir siapa yang harus ia telepon terlebih dahulu. Kalau dia menelepon polisi, tidak diragukan lagi mereka akan mengirim Chanyeol kembali ke klinik dan semuanya akan menjadi semakin rumit. Kalau dia menelepon temannya, akan butuh beberapa jam perjalanan bagi mereka untuk ke Seoul dan hari sudah malam bahkan sebelum mereka sampai.
Baekhyun berjalan tak tentu arah, memanggil nama Chanyeol kesana-kemari berharap gema dapat membawa suaranya lebih jauh.
Kalau aku Chanyeol, ke manakah aku akan pergi?
Tiba-tiba, semuanya yang ada dalam penglihatannya menjadi kabur, hanya ada satu jalan yang jelas. Jalan yang sempit yang tidak bisa dilalui oleh mobil, tetapi Baekhyun tahu ia harus mempercayai nalurinya. Dia berjalan bermil-mil jauhnya sampai staminanya benar-benar habis terkuras. Matahari bersinar sangat terik dan banyak sekali nyamuk sampai Baekhyun harus terus-menerus menampar pipinya agar mereka tidak menimbulkan bekas.
Dia merasa sangat haus dan mulai mengikuti jejak asap yang terlihat, berharap ada orang di sekitar sana yang mempunyai sumber air.
Area itu tidak seperti area kota yang ia bayangkan. Terlihat tepat seperti pinggiran kota, tetapi dia berpikir tentang kenyataan bahwa Seoul sangat besar dan banyak sekali lingkungan kecil yang mungkin tidak se-modern seperti di pusat kota.
Seperti yang sudah ia duga, daerah yang dia datangi adalah daerah yang kecil dan hanya ada beberapa rumah yang sepertinya sudah dibangun berabad-abad yang lalu dengan atap yang renyuk dan pagar yang jelek.
Tidak ada tanda-tanda Chanyeol.
Baekhyun menghela napas dan menundukkan kepalanya, penglihatannya benar-benar kabur karena kelelahan. Tahu-tahu dia terjatuh ke tanah, tapi Baekhyun belum merasakan sakitnya sebelum orang asing yang menabraknya tadi membantunya berdiri.
“Aku benar-benar minta maaf,” katanya, “aku sedang terburu-buru. Aku tidak melihat kau di sana.”
Orang itu membersihkan bajunya dan Baekhyun bilang tidak apa-apa, bertanya-tanya mengapa orang itu terburu-buru. Puji syukur, orang itu menjawabnya saat ada beberapa orang berjalan ke arah yang sama.
“Ada seorang anak lelaki yang ditemukan di hutan. Mereka bilang dia orang gila yang kabur.”
Mata Baekhyun membelalak dan dia berlari melewati orang itu ke arah sebuah rumah dengan asap yang mengepul. Saat dia menyerobot masuk melalu pagar depan, dia melihat sekumpulan orang sedang mengelilingi seorang anak lelaki yang terbaring di beranda. Tidak salah lagi bahwa anak lelaki itu adalah Park Chanyeol.
“Chanyeol!” Baekhyun berteriak, berjalan melalui kumpulan orang-orang itu dan terjatuh di sampingnya. Dia menggenggam tangannya dan berteriak kepada Chanyeol meski ia tahu tangan saudaranya itu lemas dan dingin di genggamannya. Wajah Chanyeol penuh dengan torehan dan luka kecil dan ada lebam di sekitar mata kirinya.
“Tenanglah,” seorang wanita yang duduk di beranda memberitahunya, “dia hanya tak sadarkan diri.”
Baekhyun menyandarkan dahinya pada belakang tangan Chanyeol, mendengarkan orang-orang di sekitarnya bergunjing bahwa Chanyeol gila, bahwa Chanyeol harus dilaporkan ke polisi…
“Dia tidak gila!” Dia berteriak kepada mereka, “Tolong! Jangan ganggu dia! Tolong jangan ganggu dia, dia tidak berbuat salah terhadap kalian… dia tidak gila….”
Saat air mata mulai keluar dan membasahi pipinya, orang-orang itu terdiam dan sebagian besar meninggalkan halaman. Baekhyun merasa menyesal dan kasihan pada Chanyeol karena dia sama sekali tidak pernah menduga akan seperti ini cara mereka bertemu kembali. Ia pikir mereka akan membuka kado di hari Natal bersama-sama dan bermain di arcade…
“Kau kenal dia?” Wanita tua itu bertanya, dengan baik hati menaruh handuk basah di dahi Chanyeol.
Baekhyun tersedu-sedu dan mengangguk setelah jeda yang panjang.


Kenapa, Chanyeol? Kenapa kau tidak bangun?

Aku di sini sekarang…

Aku di sini…

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 22"

Post a Comment