Baby's Breath Chapter 23

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Awan badai memenuhi langit dengan cukup cepat semalam, menghalangi pemandangan langit yang seharusnya berwarna merah muda, oranye dan ungu. Baekhyun juga tahu dia sedang berada dalam masalah, saat dia membuka ponselnya untuk menemukan ibunya telah menghubunginya enam belas kali dengan selang hanya beberapa menit. Dia menyerah dalam mencari alasan yang bagus, jadi dia memutuskan untuk tidak menjawab panggilannya (membayangkan menghadapi ibunya yang murka, kalau dia pulang).
Saat cuacanya mulai berubah suram, orang-orang membubarkan diri dan rumah itu terabaikan kecuali untuk seorang wanita tua yang masih duduk di beranda, mengipasi dirinya dengan sebuah gulungan tebal koran.
“Kau harus tinggal untuk semalam, hujannya akan awet sampai besok.”
Baekhyun mendongak, tangannya masih menggenggam tangan Chanyeol, lalu mengangguk pelan. Dia hanya dapat berterima kasih walaupun dia benar-benar berusaha terdengar tulus kepada wanita tua yang telah menunjukkan mereka kebaikan hatinya. Dia berbeda dari orang-orang yang cepat menilai dan menuduh bahwa Chanyeol gila, walaupun dia tidak banyak mengatakan sesuatu pada mereka semenjak Baekhyun menemukan Chanyeol di sana.
Dilihat dari ketenangan di sekitarnya, dia juga menebak bahwa wanita itu atau siapapun belum menelepon polisi, tetapi ia tahu situasinya bisa saja berbeda besok pagi.
Untuk waktu yang lama, Baekhyun duduk di dalam kegelapan bersama Chanyeol, tak mengindahkan betapa lelah dan laparnya dia karena takut Chanyeol akan terbangun dan dia akan melewatkannya dengan melakukan sesuatu yang lain seperti tidur atau makan. Dia ingin Chanyeol bangun dan mengetahui bahwa saudaranya berada di sana secara jasmani, bukan untuk sementara waktu saja, hanya dapat dijangkau oleh kata-kata dan harapan pahit akan hari esok yang bisa saja tidak akan datang. Dia ingin Chanyeol tahu bahwa dirinya dicintai bahkan saat dia tertidur, karena dia tidak begitu menerima Chanyeol saat ia sudah besar.
Ada banyak sekali hal yang belum sempat Baekhyun katakan dan ia berharap ia punya banyak waktu untuk memberitahunya, bukan di atas kertas melainkan bertatap muka. Saat Chanyeol tertidur lelap, Baekhyun mengulang kata-kata itu di pikirannya, masih kekurangan keberanian untuk mengatakannya walaupun waktunya sudah sangat tepat.
Aku merindukanmu. Hidup terasa bosan tanpamu. Aku minta maaf atas semua yang sudah kulakukan padamu dan apapun yang mungkin saja kulakukan di masa depan. Aku sangat bahagia karena kau adalah saudaraku, Park Chanyeol.
Dia bahkan tidak menyadari bahwa wanita tua itu telah pergi ke kamarnya untuk tidur, rumah kecil itu hanya punya satu kamar yang cukup luas untuk dua orang. Dia terlalu larut dalam pikirannya. Baekhyun tidak ingin memindahkan Chanyeol dari beranda, terutama karena cuacanya sejuk dan lantainya cukup hangat untuk membuat mereka tetap nyaman.
Baekhyun menghela napas dan beristirahat di samping Chanyeol, menggunakan lengannya sebagai bantal sedangkan tangan yang lain menarik selimut ke dada Chanyeol yang bergerak naik dan turun perlahan. Dia pikir Chanyeol mungkin saja sedang bermimpi indah karena dia dapat melihat sekilas senyuman di wajahnya, tapi Baekhyun memutuskan untuk tidak membayangkannya. Mengenal Chanyeol, hal itu bisa menjadi apapun karena dia tahu Chanyeol kadang tersenyum pada sesuatu yang paling aneh dan acak.
Kondisi mental Chanyeol itu seperti anak-anak; dunia adalah tempat yang terbaik untuknya daripada untuk orang-orang lain seusianya dan Baekhyun menghargai cara berpikir yang seperti itu sekarang. Sebelumnya, dia menganggap bahwa Chanyeol tidak dewasa, tapi sungguh, Chanyeol telah mengajarkannya tentang hidup lebih dari apa yang ingin ia ketahui.
Baekhyun pikir, Chanyeol itu luar biasa. Dia mengetahui sedikit, tetapi mengetahui banyak hal, dan menyadari itu sekarang, Baekhyun lebih merasa seperti seorang bocah di hadapan Chanyeol. Dia ingin Chanyeol memeluknya, meyakinkannya, menjadi tiang penyangganya, menuntunnya pulang dalam kegelapan, berada di sampingnya saat dia mengungkapkan isi hatinya.
Tapi, dia tahu Chanyeol tidak bisa melakukan itu untuknya, dan anehnya, Baekhyun baik-baik saja dengan hal itu.


Saat suara hujan yang jatuh mengenai atap sampai di telinganya, Baekhyun menyadari dia terus terbangun dan tertidur untuk beberapa jam, terhipnotis oleh suara napas Chanyeol yang tenang. Dia membuka matanya dan telinga Chanyeol yang muncul terlebih dahulu, yang melengkung pada tulang rawan dan agak sedikit terlalu besar, seperti Dumbo si gajah. Dia menelusuri kontur tulang pipi Chanyeol sampai ke lebam yang menutupi alis kirinya.
Hatinya merosot sampai ke bagian terdalam saat melihat wajah Chanyeol yang penuh dengan luka dan goresan. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkannya, tetapi dia mengira Chanyeol tersandung dan jatuh di suatu tempat, mungkin jatuh ke tumpukan daun yang di dalamnya terdapat batu-batu yang tajam dan ranting.
“Dasar ceroboh,” Baekhyun berkata pelan, dengan kata-kata yang diilhami oleh kasih sayang yang membuatnya lama-kelamaan terbiasa dengan itu. Kenapa dia berbicara dengan Chanyeol yang sedang tak sadarkan diri itu di luar keinginannya, tetapi sesuatu meyakinkannya bahwa entah bagaimana, Chanyeol mungkin dapat mendengarnya.
Dia tertidur tak lama setelah bunyi air hujan surut menjadi sebuah desiran pelan, kakinya ditarik sehingga ia meringkuk karena selimutnya hanya bisa menutupi satu orang. Lantainya—puji syukur—hangat walaupun cuacanya masih tak kenal ampun saat menjelang jam dua atau tiga pagi. Sekitar pukul tiga atau empat pagi Baekhyun bermimpi berlari di sebuah lapangan yang luas, menggiring bola dengan kakinya, dan di seberang sana ada Chanyeol. Tiba-tiba, latarnya berubah menjadi koloseum yang penuh dengan para penonton yang sedang berteriak dan anehnya, Baekhyun terbiasa dengan keriuhan itu. Mereka meneriakkan namanya (Baekhyun! Baekhyun!) saat dia berlari menuju ke gawang dan Chanyeol. Dia bisa saja menarik kaki kirinya kembali untuk menyerang saat dia punya kesempatan untuk itu, tetapi dia terus saja berlari ke arah Chanyeol dan melompat ke dalam pelukannya. Kerumunan itu menghilang. Lapangannya menyempit. Dia berada di rumah.

Kedip. Kedip kedip. Kedip kedip kedip. Kedip.
Saat mata Chanyeol terbuka dan berkedip seperti pemetik potret pada kamera selama beberapa detik, pandangannya yang kabur menyesuaikan kepada atap yang ada di atas kepalanya. Dia tidak bisa mengingat banyak, terutama mengapa dia bisa sampai kemari.
Badannya terasa berat saat dia mencoba mengangkat bahunya dari lantai yang dingin jadi dia berhenti berusaha dan menengok ke kiri dan kanan, berhenti di sebelah kirinya saat dia melihat wajah Baekhyun. Dia begitu dekat sampai ujung hidung mereka hampir bersentuhan. Chanyeol benar-benar terdiam untuk beberapa saat, membiarkan kehadiran Baekhyun masuk ke dalam sudut pandangnya tentang kenyataan, tapi keadaan membingungkan itu, sungguh, sebentar. Sebuah senyuman merekah di wajahnya dan dia harus menahan diri dari membangunkan Baekhyun, kalau saja dia sedang bermimpi atau dia yang sedang bermimpi.
Pelan-pelan, Chanyeol memiringkan tubuhnya, tidak peduli dengan tulang-tulangnya yang berdenyut sakit atau semua kesialan yang telah ia alami beberapa bulan belakangan. Semuanya baik-baik saja karena Baekhyun ada di sana.
Dengan hati-hati Chanyeol menarik selimutnya ke arah Baekhyun, menyadari betapa kedinginannya dia meringkuk dan gemetaran. Dia menariknya sampai ke bahu saudaranya dan tersenyum lagi, kali ini senyumnya tidak lebar dan menjengkelkan seperti biasanya tetapi manis dan lembut, seperti kakak yang menjaga adiknya.
Chanyeol bisa bilang bahwa dia mengingat dan menghargai waktu yang Baekhyun habiskan untuk menjaganya, memastikan bahwa Chanyeol diberi makan dengan baik dan puas saat Baekhyun pikir Chanyeol tidak menyadari keanggunannya.
Dia menyelipkan lengan ke bawah kepalanya, meniru sikap badan Baekhyun. Wajah mereka berhadapan sekarang dan Chanyeol menatap wajah Baekhyun untuk waktu yang sangat, sangat lama, mengagumi betapa halus dan sempurna wajahnya. Mulai dari mata Baekhyun turun ke bibir merah mudanya, segalanya memikat.
Chanyeol mencondongkan badannya, dekat, lebih dekat, sampai bibirnya bersentuhan dengan Baekhyun. Mereka jarang bersentuhan tapi dia merasakan kehangatan membanjiri seluruh tubuhnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Dia tidak yakin apa yang dimaksud dengan normal, tapi dia senang mencium Baekhyun jadi dia melakukannya lagi, kali ini menekan lebih dekat tanpa sesuatu yang ada di pikirannya selain hanya “Aku sangat menyukai Baekhyun. Aku merindukan Baekhyun.” Itu adalah motivasi dan alasan Chanyeol untuk melakukan sesuatu yang berani karena dia terbiasa dengan ciuman yang menunjukkan rasa kasih sayang.
Semakin banyak dia menciumnya, dia dapat menunjukkan Baekhyun bahwa dia mencintainya.
Sayang sekali matanya terbuka dengan canggung saat dia menciumnya untuk yang ketiga kalinya, dan saat bibirnya berada di bibir Baekhyun, dia menatap mata saudaranya yang terbuka lebar—
Sedetik penuh berlalu.
“Apa-apaan!” Baekhyun memekik, menendang Chanyeol dari beranda.

Rupanya Baekhyun telah menendang Chanyeol di bagian laki-laki yang sangat penting dan membuatnya berguling di tanah. Saat Baekhyun menyadari apa yang terjadi, Chanyeol bangkit, kakinya tertekuk seperti kue kering asin dan satu tangan memegang selangkangnya yang berdenyut karena ya Tuhan, dia tidak pernah merasa sesakit ini dalam hidupnya.


 “Itu salahmu sendiri. Kau harusnya tidak…m-menciumku seperti tadi.” Baekhyun memberengut, menghantamkan kepalan tangannya ke tulang ekor Chanyeol dengan pelan. Nada bicaranya sudah jelas terdengar bahwa dia marah tetapi semburat di wajahnya mengatakan sebaliknya, bahwa dia tidak terlalu marah jauh (jauh, jauh, jauuuuuuuh) di dalam hatinya dan hanya ingin membuat itu sebagai alasan untuk menutupi rasa malunya.
Sebagai imbalannya, dia merasa lega melihat Chanyeol kembali pulih. Wajahnya sudah tidak lagi pucat dan juga senyuman yang sangat ia rindukan itu telah kembali (rasanya seperti sudah bertahun-tahun tidak melihatnya padahal kenyataannya hanya beberapa bulan).
Mereka cekcok untuk beberapa lama seperti apa yang telah ia duga (Baekhyun masih malu-malu untuk memulai suatu pelukan atau sejenisnya, apalagi setelah dia terbangun dengan wajah Chanyeol yang mendekat kepadanya), lalu Baekhyun mengangkat topik sementara: “Kenapa kau…melarikan diri dari…institusi, Chanyeol?”
Senyum di wajah Chanyeol lenyap seperti lilin yang ditiup dan menatap Baekhyun tanpa emosi di wajahnya untuk beberapa saat. “A-Aku…Mereka tidak membiarkan aku bertemu Baekhyun.”
Baekhyun mengangguk pelan, berusaha untuk tersenyum kecil. “Kita harus kembali besok. Mereka akan mencarimu dan masalah akan muncul…jika kau tidak kembali…”
“T-Tidak…” Chanyeol terbata, bergeser menjauh dari Baekhyun sampai punggungnya menempel pada dinding. Dia menggeleng keras, ketakutan tergambar jelas di sorot matanya seperti Chanyeol baru saja melihat hantu.
“Chanyeol…”
“Tidak!” Chanyeol merengek, menekan telapak tangannya pada kedua telinganya untuk menghilangkan suara Baekhyun. Dia gemetar dan air mata jatuh membasahi kedua pipinya. “Chanyeol tidak mau kembali!”
Baekhyun kehabisan kata-kata saat dia menyaksikan Chanyeol terlihat hancur di hadapannya, sesenggukan dan menekan dirinya pada tembok dengan keras, seperti…seperti dia sudah pernah melakukannya, seperti dia mencoba melarikan diri dari setan yang mengejarnya. Dia mengulurkan tangannya ke arah Chanyeol tetapi berhenti karena dia tidak tahu bagaimana cara untuk menenangkannya. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik, terutama kepada Chanyeol. Dia sangat dekat untuk menyentuh rambut Chanyeol, tetapi tangannya jatuh karena dia takut Chanyeol akan menjauh dan berteriak kepadanya lagi.
Chanyeol tersedu dan merengek lebih kencang. “M-Mereka bilang mereka akan membunuh Baekhyun kalau aku memberi tahu orang lain. Mereka bilang mereka tidak akan pernah membiarkan Chanyeol bertemu B-Baekhyun lagi….”
Baekhyun menelan gumpalan kering di tenggorokannya. “Memberitahu apa, Chanyeol?”
“Tidak….”
“Chanyeol, bicaralah….”
Sebelum dia menyadarinya, tangan Baekhyun berada di atas kepala Chanyeol, jari-jarinya menggulung rambut cokelatnya. Dia mengelus rambut dan pipinya dan dengan lembut menarik Chanyeol menjauh dari tembok dengan tangannya yang lain.
“Tidak apa-apa, Chanyeol… Aku di sini sekarang. Aku di sini,” dia akhirnya berkata. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 23"

Post a Comment