Baby's Breath Chapter 24
Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul .
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboyBaby's Breath [Indonesia] https://www.asianfanfics.com/story/view/390422/baby-s-breath-indonesian-indonesian-exo-translation-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
Baby's Breath [English/The Real] http://www.asianfanfics.com/story/view/378771/baby-s-breath-angst-romance-exo-baekhyun-chanyeol-baekyeol-chanbaek
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baby’s Breath
Baby’s Breath
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya.
Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi : Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Yang bisa kaulakukan hanyalah melupakan. Lupakan, lupakan, lupakan. Akan lebih mudah bila kau melupakan ingatan itu, mereka tidak akan menganggapmu gila.”
Chanyeol tengah melewati salah satu ruang tahanan rumah sakit saat ia mendengar suara-suara itu di balik tembok. Para staf mengiranya tidak berbahaya dan patuh, jadi mereka tidak pernah membutuhkan perlakuan keras padanya atau mengawasinya setiap waktu. Meski diawasi salah satu pekerja setelah jam enam sore, Chanyeol bebas berkeliaran ke ruang rekreasi seorang diri untuk mengambil snack.
Ia membawa Chocopie dengan satu tangan, remah-remah belepotan di bibir bawahnya. Wanita ramah di ruang rekreasi bilang padanya bahwa Chocopie itu didapat karena sudah bersikap baik semingguan ini dan karena tidak menimbulkan masalah. Chanyeol tahu apa yang akan terjadi jika para pasien berulah sebab ada beberapa orang yang dikurung karena berada di ambang perilaku destruktif. Dia juga pernah dengar erangan dan sumpah serapah dari balik tembok di malam hari, tak peduli seberapa tembalnya tembok.
Maka dari itu, masih menjadi misteri bagi Chanyeol mengapa suara-suara semacam itu terdengar dari sebuah ruangan begitu awal, bahkan saat pasien lain belum tidur. Ia menoleh-noleh dan tidak melihat siapapun di lorong. Biasanya, setidaknya ada beberapa pasien yang berjalan-jalan dengan para pekerja dan beberapa yang juga mendapat kebebasan seperti dirinya, tetapi kali ini, tidak ada seorang pun dan lampu koridor juga sedikit temaram.
Penasaran, Chanyeol menempelkan telinganya ke daun pintu dan menguping.
“Kau tidak bisa ke mana-mana. Kalau kau ingin keluar, kau harus melupakannya.”
Chanyeol mendengar suara seorang pria, kata-katanya entah kenapa terdengar menghipnotis di telinganya. Ia pikir ia mengenali suara itu di suatu tempat, kemudian ia ingat bahwa pria itu adalah salah satu staf yang menangani bagian pengobatan kejiwaan. Dia seorang ahli terapi jiwa bernama dr. Jung.
Dia mendekatkan diri dan nyaris histeris (ia terperanjat) saat terdengar suara teriakan yang memekakkan telinga dari balik pintu. Sayangnya, ia tidak sempat memulihkan diri saat pintu itu terbuka dan seorang pria berkacamata memandangnya dingin. Ada dua orang pekerja lain berseragam putih di belakangnya, tapi perhatian Chanyeol tersita oleh wanita yang diikat ke kursi interogasi dengan bekas hitam-hitam di kulit.
Chanyeol mengenalnya. Ia mengenalnya saat berjalan-jalan di luar. Ia mengenalnya sebagai Hwang Miyoung, gadis yang menunjukkan perilaku destruktif diri sendiri tingkat tinggi setelah dengan parah membakar adik laki-lakinya hingga ia diopname berbulan-bulan. Ia selalu mengira rumah sakit itu aneh mengecapnya berbahaya karena gadis itu sehari-harinya lembut dan pemalu; Chanyeol pernah saling bertukar sapa dengannya beberapa hari yang lalu dan dia bilang Chanyeol itu pintar karena mengetahui beragam jenis nama bunga. Chanyeol menyukainya.
Dan di sinilah ia sekarang, kaki-tangannya terikat ke kursi dan mulutnya diselotip. Rambutnya lepek karena terlalu banyak berkeringat dan ia memandangi Chanyeol dengan mata lebar sebelum pingsan, matanya mengarah ke atas sebelum kepalanya terkulai ke samping.
Chanyeol mengambil selangkah mundur, otaknya masih belum sanggup memproses apa yang terjadi maupun apa yang ia lihat. Ia tidak yakin apa yang telah mereka lakukan terhadap gadis itu tapi entah kenapa ia merasa gusar. Jantungnya berdebar, menghantam-hantam di dada hingga ia tidak bisa meredakan amarahnya. Di sisi lain, meski ia sangat marah (Chanyeol tidak pernah merasa semarah ini seumur hidupnya), ia juga sangat takut dan terus melangkah mundur hingga punggungnya menempel ke tembok di belakangnya.
Pria berkacamata itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas pada kedua orang lain yang memegangi lengannya dan menyeretnya ke ruangan bersama Miyoung. Tidak pasti apa yang terjadi setelah pintu itu tertutup karena mereka semua menakutkan, memori mengerikan yang ingin Chanyeol tahan.
Ia terus mendengar suara-suara di kepalanya: “Tidak ada gunanya mengingat... lupakan apa yang kau lihat... Lupakan.”
Chanyeol terbangung keesokan paginya dengan kepala berdenyut-denyut. Ia bangkit duduk di ranjang dan tidak dapat menggerakkan lengan dan kakinya, jadi ia melirik ke bawah dan melihat dirinya seperti terbalut baju pengekang seperti mumi.
“Tidak ada gunanya melawan... tidak ada gunanya mengingat apa yang kaulihat... Lupakan.”
Ia melihat pria berkacamata lagi lalu ia merasa ditusuk lengan bawahnya dan sejurus rasa dingin dari sesuatu mengaliri pembuluh darahnya. Kurang lebih semenit kemudian, sensasi dingin berubah panas dan rasa sakitnya tak tertahankan di kaki membuatnya menggelepar di atas tempat tidur sambil meneriakkan isi pikiran yang tidak dapat diartikan dalam kata. Keringat dingin mengucur dan pupilnya melebar; dia merasakan sakit yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, lalu rasa kantuk tiba-tiba muncul dan menguasainya.
“Lupakan.”
“Chanyeol?”
“Chanyeol?”
Baekhyun mengguncang-guncang bahu Chanyeol pelan, dalam pandangannya tersirat kekhawatiran. Ia mengusapkan ibu jarinya dengan lembut di pipi Chanyeol yang membiru, menyusuri tiap luka yang tampak di kulitnya. “Siapa yang melakukan ini padamu? Kau bisa memberitahuku, Chanyeol, kita bisa meluruskan ini.”
Chanyeol menutup telinganya dan beringsut bangun, memejamkan matanya erat karena dia tak dapat mengingat. Memori itu telah terhapus bersih dari benaknya atau mungkin dipaksa untuk terlupa. Yang dia ingat hanya debaran di dadanya juga ketakutan, ketakutan yang merenggut nyalinya hingga membuatnya terbangun di suatu malam dan melarikan diri.
“Baekhyun, aku takut... Chanyeol takut.”
Baekhyun tidak tahu mengapa, tapi ia merasa tidak ada yang bisa ia lakukan selain menenangkannya dengan memeluknya sekarang. Dia memeluknya sepanjang malam dan Chanyeol pun akhirnya tertidur lagi.
Ia terbangun keesokan paginya saat wanita tua itu membangunkannya dan berkata, “Orang-orang dari rumah sakit itu di sini. Mereka mencari saudaramu.”
Baekhyun tidak mendengar sirine polisi jadi ia menduga pihak rumah sakit telah mengirimkan beberapa orang sendiri untuk melakukan pencarian di daerah dan jalanan sekitar. Kata wanita itu mereka sedang mengecek tiap-tiap rumah, mencari seorang pasien gila dengan perilaku destruktif, sehingga jelas sekali mungkin satu atau dua orang yang menonton kemarin akan menunjukkan di mana Chanyeol berada. Ia segera membangunkan Chanyeol dan menyuruhnya bergegas sembunyi di lemari pakaian.
Masih setengah sadar, Chanyeol menekuk kedua kaki panjangnya dan menyembunyikan diri dengan patuh di lemari di belakang baju-baju yang tergantung, sambil sesekali kepalanya jatuh karena mengantuk.
“Semuanya akan baik-baik saja, Chanyeol, cukup... sst.” Baekhyun meyakinkannya dan menaruh telunjuknya di bibir untuk menyuruhnya tetap diam sebelum menutup pintunya tepat di saat beberapa pria masuk lewat pintu depan.
“Dia di sini tadi malam.” Wanita tua itu batuk sambil mengipasi api di tungku. Aktingnya benar-benar natural, Baekhyun sampai kaget beliau bisa melakukannya tanpa kesulitan berarti. “Aku memberinya sup dan dia lari ke arah sana,” tunjuknya ke jalan yang berlawanan dari arah rumah sakit.
Pria berkacamata itu berpaling pada Baekhyun yang berdiri tanpa kata di ambang pintu dan bertanya, “Dan siapa kau?”
“Cucuku,” jawab wanita tua itu dengar segera, “tidak ada yang bisa dilihat di sini, jadi pergilah sebelum aku memanggil polisi.”
Orang-orang itu menggerutu dan memutuskan untuk pergi sesuai permintaannya, tapi pria berkacamata itu menoleh pada Baekhyun sekali lagi, dengan cermat mengamati bagaimana ekspresi Baekhyun mengeruh saat mereka berkontak mata.
Baekhyun benci bagaimana pria itu terlihat mencemoohnya bahkan tanpa menggerakkan sama sekali otot wajahnya, seolah dia tahuChanyeol masih di sini tetapi menunggu waktu yang tepat untuk bergerak. Ketika mereka sudah pergi, Baekhyun jauh lebih lega dan menghembuskan napas yang sedari tadi tertahan di dadanya.
“Ada sup di kompor.” Wanita tua itu berkata tanpa melihat Baekhyun, “Panaskan sebagian untuk dirimu dan saudaramu.”
Baekhyun mengangguk perlahan dan mengatakan “terima kasih,” sepintas memandangi percikan di tungku sebelum berbalik untuk mengeluarkan Chanyeol dari lemari. Saat ia membuka pintunya, ia menemukan Chanyeol bersandar ke samping, tidur. Itu membuat Baekhyun takjub Chanyeol dapat tidur nyenyak di waktu-waktu seperti inisaat mereka berdua butuh untuk lebih perhatian.
“Apa?! Byun Baekhyun, kau dalam masalah besar kali ini, aku tidak akan menolongmu, apa-apaan!”
Baekhyun meringis dan menjauhkan ponselnya dari telinga seraya Jongin memisuh dan berteriak padanya. Dia sudah mengira akan mendapat respon yang lebih buruk setelah menjelaskan semua yang telah terjadi sampai sekarang.
“Sudah kubilang itu gila.”
“Jadi, biarkan aku meluruskan ini, oke? Chanyeol dikirim ke rumah sakit jiwa dan kemudian kau bilang sesuatu terjadi padanya di sana, entah bagaimana dia berhasil kabur dan sekarang kau menyanderanya sementara mereka sedang mencarinya?”
“Yeah, semacam itulah,” kata Baekhyun dengan cuek sambil menyuapi Chanyeol sup karena dia masih setengah sadar dan tidak bisa menelan dengan sempurna entah kenapa (karena itu oto terikat di lehernya).” Aku tidak menyanderanya, bodoh. Aku cuma...”
“Menculiknya?”
“Yaah...”
“Kau sangat menyebalkan, kau tamat kali ini, kau benar-benar tamat kali ini.”
“Tenanglah. Semua terkendali, aku hanya ingin kau menolongku sekali ini saja dan juga beritahu ibuku aku menginap di tempatmu atau apalah.”
“Terlambat, baekachu. Dia datang tadi pagi menanyakan keberadaaanmu dan kubilang aku tidak tahu.”
Sial. Bisa jadi polisi tengah mencari mereka saat ini.
“Aku akan kembali malam ini, dengan Chanyeol, ajdi jangan khawatir, oke?”
“Baekka? Kau mungkin sahabatku, tapi terkadang kau benar-benar idiot.”
“Pergi dan hisap apalah sana.”
“...”
“Halo?”
“Maaf, tidak kedengaran suaramu gara-gara suaraku yang lagi ‘menghisap’,” ejeknya.
Baekhyun mendesah.
Segera sesudah Baekhyun menutup telepon dan menaruh perhatiannya pada Chanyeol, anak itu sedang memakan sendiri supnya, dengan senyum kecil yang menyembuhkan. “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya sambil merasakan temperatur dahi Chanyeol karena mereka tidur di luar semalam.
“Gatal.” Chanyeol tersenyum sambil menggaruki bekas gigitan nyamuk di leher dan pipinya.
Baekhyun menghela napas lega kali ini, senang karena Chanyeol sedikitnya sudah kembali seperti semula, meskipun lebih diam dari biasanya. Dia hanya mengira itu karena Chanyeol lelah, terlihat dari lingkaran hitam di bawah matanya dan betapa pucatnya Chanyeol dibanding dirinya. Lebih anehnya lagi ia sendiri tidak demam.
Dengan kulit Chanyeol yang begitu pucat, memar dan lecet di wajahnya semakin tampak jelas dan Baekhyun pikir itu bisa menjadi bukti untuk melawan pihak rumah sakit di pengadilan, karena mereka sekarang sudah mendapat pengacara untuk membawa Chanyeol kembali pulang. Apa pun yang disembunyikan Chanyeol darinya, ia tahu itu ada hubungannya dengan orang-orang rumah sakit karena semuanya masuk akal: wanita menakutkan di halaman rumah sakit, sekretaris yang mencurigakan, ketakutan Chanyeol yang tak beralasan, pria berkacamata...
“Chanyeol, kita akan pulang hari ini, jadi kau harus makan yang banyak, ya?” katanya sambil merapikan rambut coklat keriting Chanyeol ke belakang seraya tersenyum saat saudaranya mengangguk.
“Chanyeol bisa pulang dengan Baekhyun?”
Baekhyun mengangguk, lalu menguap karena dia kurang tidur semenjak semalaman menenangkan Chanyeol hingga tidur siang terdengar bagus. Setelah memakan sup, ia menyodorkan Chanyeol selembar kertas dan sebuah pulpen yang ia temukan di ruangan dan menyuruhnya untuk tetap sibuk selama ia beristirahat.
Wanita tua itu mampir, berkata dia akan belanja sayur-mayur dan bertanya pada Chanyeol kalau dia mau ikut dengannya. Chanyeol menggelengkan kepalanya tidak dan memutuskan untuk tetap tinggal dengan Baekhyun, mencatat dan menulis-nulis di kertasnya.
Baekhyun tertidur cukup cepat dan tidak bermimpi apa-apa saat tidur karena pikiran dan badannya terlalu lelah untuk melakukan sesuatu selain benar-benar berhibernasi, namun, di tengah-tengah ketidaksadarannya, ia mendengar bisikan:
“Kebakaran... kebakaran... panas... Baekhyun, panas!”
0 Response to "Baby's Breath Chapter 24"
Post a Comment