Baby's Breath Chapter 25

Tittle : Baby's Breath
Cast(s) : Baekhyun and Chanyeol, with EXO as Cameos
Disclaimer : I don't own anything . Story belong to Jindeul . 
Note : Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Amusuk dan Yaoi_fanboy

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baby’s Breath 
Baby’s Breath”, bunga klasik yang biasa dipakai sebagai pengisi korsase, buket, dan rangkaian bunga lainnya. 

Melambangkan kesucian, ketulusan, dan kebahagiaan; alasan utama mengapa florist menggunakannya bersama 
dengan mawar, simbol teramat kuat cinta sejati.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deskripsi :              Namaku Byun Baekhyun.
Saudara tiriku Park Chanyeol.
Aku adalah kapten tim sepak bola sekolah kami dan peringkatku juga tinggi, kurang lebih.
Saudara tiriku mempunyai IQ 65 “di bawah rata-rata”. Dia menjalani home-schooling selama sebagian besar hidupnya. Ya, dia mengalami keterbelakangan mental. Lumpuh secara intelektual. Cacat secara jasmani. Terserah kau menyebutnya apa. Dia tidak berbuat banyak dalam hidupnya selain menyirami tanaman di toko bunga milik keluarga kami dan berusaha memecahkan soal matematika kelas dua. Dia masih menghitung dengan jari.
Hidupku berubah, sedikitnya, semenjak kepindahannya ke rumah kami.
Namaku Byun Baekhyun dan aku ingin saudara tiriku yang bodoh ini menghilang.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kebakaran. Kebakaran.
Baekhyun mendengar panggilan kesulitan Chanyeol, namun pikirannya ada di tempat lain; ia terbawa dalam mimpi.
Dia tidak yakin di mana ia berada pada mulanya. Rumah ini asing tapi perabotannya tidak asing, jadi Baekhyun menyimpulkan ia sedang berada di rumah sebelumnya, rumah tempat ia tinggal dengan ayahnya. Ia menunduk dan melihat dirinya dalam balutan seragam kesebelasan, bertelanjang kaki. Iseng, ia menggerakkan jari-jari kakinya dan ada tujuh, delapan, sembilan jari di masing-masing kaki, yang Baekhyun anggap aneh (tapi dia sedang bermimpi, jadi tidak ada yang aneh di dalamnya). Koridor yang ia lewati serasa tidak berujung, dan di pertengahan jalan, ia sadar dirinya lebih kecil, atau langit-langitnya yang lebih tinggi. Sekali lagi, ia tidak berpikir hal itu cukup aneh.
Baekhyun mendengar namanya dipanggil dan mendongak untuk melihat ayahnya menenteng sepasang sepatu sepak bola yang baru, yang sebenarnya, sepatu pertamanya. “Ayah!” serunya sambil berlarian menuju figur di ujung koridor. Anehnya lagi, kakinya terasa seperti timah di setiap langkah yang dia ambil, maka ia melirik ke bawah dan melihat kakinya tidak lagi ada di sana. Ia tengah berjalan di atas lutut yang pendek dan gemuk, semua di bawah itu diamputasi.
“Ayah!” teriaknya. Tidak ada gunanya. Bayangan ayahnya memudar dan api berkobar di mana-mana. Ia dikelilingi oleh setan-setan marah. Baekhyun kehilangan keseimbangan dan jatuh di wajahnya.
Baekhyun! Baekhyun!
Ia terbangun lagi dan api telah menghilang. Ia berada di suatu tempat yang lebih sunyi, putih, dan pastinya asing. Baekhyun berusaha keras untuk bangun, karena termakan ketakutan oleh ingatan tentang kakinya yang diamputasi, dan menemukan bahwa setengah tubuh bagian bawahnya utuh kembali. Kali ini, kepalanya dipasangi dengan perlengkapan logam dan ada beberapa pria berbaju putih berbicara di sampingnya. Ia terikat di meja pemeriksaan.
“Dia gila. Dia membahayakan diri sendiri dan orang lain.”
Mata Baekhyun melotot saat mereka mengambil alat-alat tajam dan mendekatkannya pada Baekhyun, tapi sebelum ia dapat merasakan rasa sakit bukan main dari alat-alat tersebut, segalanya tiba-tiba terasa panas. Menyala. Saat ia membuka mata (dalam mimpinya), pria-pria itu tak berkepala dan ruangan itu tiba-tiba dilalap api. Mereka tenggelam dalam lautan api dan Baekhyun terjebak. Ia tidak mampu bergerak.
Hal pertama yang keluar dari mulut Baekhyun saat tiba-tiba ia terjaga ialah ”Chanyeol!”. Mimpinya menguap ke udara dan ia terbangun ke dalam mimpi buruk. Asap di mana-mana, asap begitu tebalnya hingga ia tidak bisa melihat beberapa meter di depannya ataupun bernapas karena rasanya seperti racun bagi paru-parunya. Rumah itu kebakaran dan semuanya terbakar dengan hebatnya hingga Baekhyun tidak tahu mana jalan keluarnya atau adakah jalan keluar di titik ini. 
Tapi dia tahu Chanyeol ada di situ.


“Baekhyun!” teriak Chanyeol yang mengguncang-guncang pundaknya dan menunjuk ke arah pintu keluar yang terblokir. “Kita harus keluar! Baekhyun bisa berjalan!”
“Chanyeol....” Baekhyun terbatuk, tak peduli seberapa keras ia berusaha untuk bangun, dia tidak bisa. Seolah-olah kakinya lumpuh atau sudah tidak ada. Dengan kedua tangan di pundak Chanyeol, ia melirik ke bawah dan ia tidak percaya melihat sebuah balok kayu telah menimpa kakinya. Harusnya ia berteriak tapi ia tidak bisa bernapas dan asap makin menebal membuat matanya pedih dan pandangannya mengabur juga. “Chanyeol, kau harus keluar.” Ia terbatuk, berharap semua ini hanya mimpi, mimpi buruk yang sangat buruk.
Chanyeol menggelengkan kepala. “Tidak! Chanyeol akan pergi dengan Baekhyun.”
Baekhyun terbatuk lagi, paru-parunya seperti dibakar dan tenggorokannya sangat kering sehingga ia tidak dapat bernapas lagi. Namun begitu, ia mencoba untuk berdiri demi Chanyeol, karena Chanyeol juga berada di kesulitan karena Baekhyun. Mereka menyingkirkan balok kayu itu ke samping, lalu Baekhyun memperhatikan di balik kepulan asap dan kobaran api, tangan saudaranya itu melepuh terbakar.
“Chanyeol,” kata Baekhyun dengan terbata-bata sembari menggenggam bagian kemeja saudaranya dan menariknya sangat dekat hingga mereka berhadapan mata ke mata di tengah-tengah neraka itu. Ia mendengar teriakan orang-orang dari luar dan ia merasakanapi mulai menjilat kulitnya saat ia mulai berbicara dengan pelan. “Chanyeol, kau bisa pergi tanpa aku. Tidak apa-apa.”
Chanyeol menggelengkan kepala lalu menempelkan dahi mereka. Ujung jari tangan Chanyeol nyaris menyentuh pipi Baekhyun.
“Chanyeol tidak akan pergi ke mana-mana tanpa Baekhyun. Aku...,” ia mendesah pelan, “aku tidak takut... kalau bersamamu.”
Baekhyun tersenyum lembut mendengar itu, namun sebelum ia sempat membalas, ia kehilangan kesadaran dan terkulai di lengan Chanyeol.
“Baekhyun? Baekhyun!” teriak Chanyeol. Ketika semua usaha mengguncang-guncangnya gagal, ia meletakkan tangannya di belakang leher an di balik lutut Baekhyun. Ia berusaha mengangkatnya, tapi seluruh kekuatan di kakinya telah hilang dan ada batasan berapa lama Chanyeol bisa bertahan sebelum dia juga pingsan akibat menghirup terlalu banyak asap dan menahan temperatur yang membara. Tapi, dia mencoba dan mencoba lagi hingga Baekhyun berada di dadanya dan dia sendiri bediri.
Keringat mengalir di wajahnya yang melepuh dan Chanyeol berteriak “tolong!” pada api tersebut seolah ada yang akan menjawab. Setiap orang normal pasti akan bertaruh dan berlari melewati api, tapi Chanyeol kurang dalam berpikir kritis dan pemikiran bahwa keamanan ada di luar di balik api jauh di luar nalarnya. Baginya, mereka terjebak di sebuah ruangan, sama seperti bagaimana ia terjebak di antara dinding-dinding putih rumah sakit.
Ia menoleh kanan-kiri dan melangkah tak tentu arah, berteriak saat sebagian atap kayu itu roboh dan nyaris menimpa mereka berdua. “Tolong! Seseorang, tolong!” Dia berteriak terus, suaranya serak dan tenggorokannya panas.
Chanyeol berlutut dan menarik Baekhyun lebih dekat, secara naluri melindungi tubuhnya dari puing-puing yang berjatuhan. “Baekhyun....” Ia menangis sembari menyentuh pipi saudaranya dengan lembut.
Kemudian, ia mendengar suara berisik dari luar seperti orang-orang berteriak dan otak Chanyeol tiba-tiba paham. Berhenti sebentar, ia menurunkan Baekhyun dan menyelimutinya dengan selimut untuk menghindarkan api dari tubuhnya terlebh dulu, lalu ia mengambil sebuah balok kayu yang terbakar di lantai. Ia ayunkan ke pintu terdekat dan pintu itu retak, kayunya berjatuhan sedikit-sedikit hingga akhirnya runtuh dengan pukulan kedua.
Ada cahaya.
Para pemadam kebakaran yang telah merangsek masuk terlambat malah menyiramkan air lewat selang daripada menyelamatkan mereka. Chanyeol mengerahkan sisa tenaganya untuk mengangkat Baekhyun kembali, lalu berjalan sempoyongan keluar dari rumah yang terbakar itu tepat waktu untuk paramedis merenggut saudaranya darinya. “Baekhyun!” teriaknya dengan parau selagi mereka mengangkut Baekhyun ke atas tandu dan ia sendiri ditarik dan diborgol menghadap mobil polisi.


“Apa dia orangnya?” tanya seorang polisi pada pria berkacamata yang mengangguk.
“Dia orangnya, pasien yang kabur.”
“Kami akan memberinya perawatan medis lebih dulu.”
“Itu tidak perlu,” jawab pria itu. “Rumah sakit kami juga bagian dari perawatan medis. Kami akan memenuhi semua kebutuhannya secepatnya dan aku serahkan sisanya padamu, Pak.”


“Baekhyun!” teriak Chanyeol saat ambulan terlihat seperti titik di kejauhan, dan ia pun dimasukkan ke bagian belakang van putih dan dibawa ke penjara rumah sakit.


“Park Chanyeol, pasien Rumah Sakit Jiwa Seoul yang kabur, akan menghadapi beberapa tuntutan karena melawan untuk ditangkap, pembakaran property pribadi, dan penculikan terhadap saudara tirinya sendiri, Byun Baekhyun.”


“Bagaimana keadaan saudara tirinya? Masih tak merespon?”
“Tidak ada respon. Mungkin akan lebih baik baginya untuk tetap tenang beberapa saat, atau setidaknya sampai semua ini berakhir.”


“Park Chanyeol, apa ada hal lain yang ingin kausampaikan sebagai pembelaan atas insiden yang terjadi dua malam yang lalu?” Seorang pengacara duduk di sebelah pria lain yang menatap kosong buku catatan yang membuka. Pengacara itu mengerti kurangnya respon Chanyeol karena Chanyeol tidak bisa berkata apa-apa untuk membela diri, lalu menulis sesuatu di papan tulis kecil. “Baiklah. Apa ada yang ingin kausampaikan kalau begitu?”
“Ini semua salah Chanyeol, kan?” kata Chanyeol dengan pelan, matanya berlinang air mata. “Ini semua salah Chanyeol sampai Baekhyun terluka, iya kan?” Ia menggenggam pensilnya kuat-kuat dan menatap lama dan tajam buku catatannya, halamannya basah oleh air mata. Setelah ia ditahan, rumah sakit telah “menyembuhkannya” dengan merawat luka bakarnya dan mereka juga memotong rambutnya hingga rambut Chanyeol tidak lagi panjang dan keriting, tetapi pendek. Ada banyak luak bakar di tangannya yang sudah mereka perban sepenuhnya dan Chanyeol nyaris tidak bisa memegang pensil tanpa menjatuhkannya berkali-kali. Ada pula bekas luka yang panjang di pipi kanannya saat api membakar ke dalam dagingnya.
Usai insiden itu, Chanyeol semakin diam. Ia menolak menjawab pertanyaan orang-orang yang menjenguknya dan hanya bertanya tentang Baekhyun semata. Kalau ia ditinggal sendiri, ia akan menghabiskan berjam-jam waktunya menatap kosong buku catatannya seolah lupa caranya menulis.
“Ini bukan salah siapa-siapa sebelum kita menemukan jawabannya,” pengacara itu berusaha menenangkan Chanyeol yang hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Ini semua salah Chanyeol sampai Baekhyun tidak bisa berjalan dan bermain sepak bola lagi, kan?”
Bodoh, bodoh, Chanyeol bodoh...
Ia menjambak rambutnya yang pendek dan menangis.


“Maaf Nyonya Byun. Aku tahu dia akan membuat dirinya dalam masalah, jadi aku mengiriminya pesan dan menemukan di mana dia berada. Dia bilang dia butuh bantuan tentang sesuatu, jadi kupikir aku akan pergi dan membawa mereka berdua kembali,” kata Jongin di luar bangsal Baekhyun dengan Ibu Bakehyun. “Aku sampai di sana terlambat....”
Saat beliau meninggalkannya di koridor untuk bicara dengan dokternya, Jongin menyandarkan punggungnya di tembok terdekat dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau ia tiba lebih cepat. Apa dirinya akan menerobos api untuk menyelamatkan Baekhyun? Apa ia benar-benar cukup berani? Pertanyaan  yang membuatnya ragu itulah alasan mengapa ia tidak bisa menemui Baekhyun yang sedang hilang kesadaran karena sebagian dirinya merasa bertanggung jawab untuknya. Andai ia datang lebih awal...
Ia mereka ulang jalan yang ia tempuh dalam kepalanya.
Ia turun di tempat pemberhentian bus kurang lebih satu mil dari daerah tempat Baekhyun mungkin berada. Dalam perjalanan menuju ke sana, ia mendengar dua orang wanita yang sedang membicarakan tentang orang yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa dan bahwa orang-orang berseragam putih sedang mencari pasien itu. Ia menghabiskan banyak waktu mencari alamat yang diberikan Baekhyun dan menubruk seorang pria di tengah langkahnya, seorang pria dengan kacamata aneh.
Pria itu tampak terburu-buru, jadi Jongin menundukkan kepalanya meminta maaf dan berlalu. Bagaimanapun, ia menoleh balik untuk melihat orang asing itu membawa cangklong sebelum menghilang di pojokan. Ia tidak menemukannya aneh sampai ia tiba di tempat kejadian perkara. Saat ia tiba di ujung daerah, rumah itu sudak kebakaran, polisi dan paramedis mendorongnya minggir untuk mengendalikan api. Ia ada di sana saat Chanyeol keluar dengan sempoyongan membawa Baekhyun di lengannya (yang merupakan saat di mana ia menghela napas lega), tapi ia belum cukup berani untuk menampakkan diri.
Ia berbalik dan pria berkacamata itu ada di sana, berbicara dengan salah satu polisi yang mendorong Chanyeol ke mobil polisi dan memborgolnya. Saat tempat kejadian perkara itu sudah bersih, Jongin mendengar pria berkacamata itu berkata pada pihak yang berwajib bahwa itu semua adalah aksi pembakaran dan bahwa Chanyeol yang telah memulai api di dekat dapur.
Lucunya yaitu, Jonginlah yang pertama melihat api itu dimulai, dan kebakaran itu dimulai di dekat belakang rumah. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Baby's Breath Chapter 25"

Post a Comment